Home Milenial Pelajar Filmkan Tangisan Petani yang Terdesak Tambang Pasir

Pelajar Filmkan Tangisan Petani yang Terdesak Tambang Pasir

Purbalingga, Gatra.com – Sebanyak 13 film dikutkan dalam kompetisi film pelajar dalam Festival Film Purbalingga (FFP) 2019. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah film berjudul “Tambang Pasir”, karya siswa SMA Negeri Bukateja.

Film Tambang Pasir merupakan bukti bahwa pelajar memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Mereka mampu merekam kegelisahan petani yang terancam tambang batu dan pasir yang semakin merusak lahan pertanian di Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja, Purbalingga.

Tahun ini, lewat Sabuk Cinema, ekstrakulikuler sinematografi, siswa menggarap penambangan Golongan Galian C atau Galian C di sepanjang Sungai Pekacangan yang semakin mengancam sumber hidup warga Bukateja.

Sutradara film "Tambang Pasir", Sekar Ayu Kinanti, mengatakan,  ada beberapa subjek atau narasumber diangkat. Mereka adalah petani yang menggarap lahannya sendiri dan menggarap lahan milik negara. “Dengan latar persoalan yang berbeda,”  kata siswi yang tahun ini naik kelas XI  itu.

Keberanian para pelajar untuk memfilmkan persoalan  dalam penambangan pasir patut dipuji. Di luar teknis sinematografi, berbagai kendala ditemui di lapangan. Salah satu yang paling berat adalah intimidasi dari preman yang menguasai penambangan.

“Kamerawan kami sempat didekati preman penambangan Desa Penaruban saat pengambilan gambar. Mereka meminta kami menghentikan proses pengambilan gambar,” katanya, dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com,  Jumat (5/7).

Ayu menjelaskan, satu narasumber, Eko Purwanto, warga Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja, memiliki lahan sendiri yang tak jauh dari lokasi perusahaan tambang yang menggunakan alat berat. Eko bercerita, saat pasir dan batu di Sungai Pekacangan habis, penambangan mulai merangsek ke lahan warga.

“Pengusaha tambang mulai merayu warga pemilik lahan agar menyewakan lahannya untuk ditambang. Eko adalah salah satu warga yang menolak, karena menganggap lahannya akan rusak bila ditambang,” ujarnya.

Berbeda  dari Eko yang masih bisa mempertahankan tanahnya, Supriyatin, warga Desa Penaruban, Kecamatan Bukateja kini sudah kehilangan lahan garapan. Supriyatin, bersama dengan puluhan warga yang lain, sebelumnya menggarap tanah pekulen bersama puluhan warga lain.

“Ada pengusaha tambang tanpa tali asih yang sesuai menambang tanahnya karena merupakan tanah sedimen,” katanya.

Dalam film tersebut, narasumber berceerita bahwa mereka sempat berdemonstrasi pada 2017. Tetapi, aksi massa yang diikuti oleh ratusan orang itu tak mampu menghentikan penambangan. Penambangan di sepanjang Sungai Pekacangan, Desa Penaruban terus menjadi konflik  warga dengan penambang hingga hari ini.

Sementara, subjek lainnya, Suniah, warga Desa Lamuk, Kecamatan Kejobong, menjadi wakil salah satu petani penggarap yang saat ini sudah kembali tenang menanam sayuran di lahan pinggir Sungai Pekacangan.

Pada tahun 2017, Suniah bersama puluhan warga sempat kehilangan mata pencaharian dengan adanya penambang pasir yang menggunaan  alat berat. Setelah didemo warga, pengusaha tambang itu hengkang.

Guru pembina ekskul sinematografi, Purbandaru Adi Susila, mengatakan, meski cukup berisiko,  sekolah mendukung produksi dokumenter ini . Selain itu, siswa juga didampingi oleh Cine Lovers Community (CLC) Purbalingga yang telah lama berkecimpung dalam produksi film.

“Ini tidak hanya siswa belajar memproduksi film dokumenter, tapi juga agar siswa belajar peka dan mempunyai keberpihakan pada yang lemah,” ucap guru pengampu pelajaran Sosiologi ini.

Akhirnya, dengan tekad yang kuat, film ini bisa diselesaikan. Dan kini, film "Tambang Pasir" menjadi salah satu peserta dalam FFP 2019 yang akan dipertontonkan kepada khalayak, mulai Sabtu, 6 Juli hingga puncaknya 3 Agustus 2019.  

517