Singapura, Gatra.com - Para peneliti dari Duke-NUS Medical School sedang meneliti kemungkinan dijadikannya kelelawar sebagai salah satu obat anti kanker masa depan, karena kelelawar memiliki mekanisme anti kanker tersendiri dalam tubuhnya.
"Tim kami menyelidiki mekanisme anti-kanker yang unik pada kelelawar dan menemukan bahwa paparan obat-obatan beracun menyebabkan kerusakan DNA secara signifikan, lebih sedikit pada sel kelelawar daripada sel manusia karena adanya protein ABCB1 yang penting," kata salah satu profesor yang melakukan penelitian di Duke-NUS Medical School di Singapura, Koji Itahana, seperti dikutip Medical Daily, Kamis (4/7).
Sebuah studi baru, yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communications mengungkap bahwa dalam penelitian itu, para peneliti mencari tahu bagaimana cara kelelawar dapat sembuh dari sel kanker dalam tubuhnya, sementara mereka selalu terpapar oleh lingkungan yang dapat mempercepat pertumbuhan sel kanker.
Para peneliti mengatakan, dalam penelitian tersebut, mereka menemukan fakta tentang mekanisme unik dalam tubuh kelelawar, yang mungkin juga dapat diaplikasikan pada tubuh manusia di masa depan.
Fakta itu adalah dengan adanya protein ABCB1 dalam tubuh kelelawar, yang berfungsi untuk menghilangkan zat-zat asing perusak sel. Protein itu tampak berlimpah pada kelelawar, yang menurut para peneliti berpotensi membantu hewan-hewan mempertahankan umur panjang yang bebas dari kanker.
"Temuan kami mengungkapkan bahwa pengangkutan obat-obatan beracun keluar dari sistem melindungi sel-sel kelelawar dari kerusakan DNA, yang dapat berkontribusi pada insiden kanker yang rendah," ujar Direktur Program Penyakit Menular yang Muncul di Duke-NUS, Wang Linfa.
Sementara itu, beberapa spesies kelelawar memiliki sejumlah besar ABCB1 yang juga dapat membantu mereka mempertahankan anti toksik dalam tubuh. Tanpa protein itu, pembentukan bahan kimia berbahaya ditemukan dalam sel tubuh kelelawar, yang kemudian dapat menyebabkan kerusakan DNA dan kematian sel.
Tujuan dari penelitian ini, lanjut peneliti adalah untuk membuat bahan kimia tidak beracun, yang dapat mengurangi pertumbuhan sel kanker. Hingga kini, pasien cenderung memperpanjang kemoterapi atau mengalami penyakit yang kembali ketika tubuh mereka menolak perawatan.
Resistansi terhadap obat juga dikaitkan dengan kematian pasien.