Jakarta, Gatra.com – Mantan Menko Perekonomian, Dorojatun Kuntjoro-Jakti menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (4/7).
Menteri pada era pemerintahan Megawati itu diperiksa sebagai saksi untuk Pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim.
Usai menjalani pemeriksaan, Dorojatun enggan menjawab pertanyaan wartawan. Ia irit bicara. Malah menyuruh awak media untuk bertanya kepada KPK saja.
"Tanya KPK saja lah, pokoknya apa, selesai, sebagai saksi saja," kata Dorojatun bergegas meninggalkan Gedung KPK.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan bahwa penyidik mendalami peran Ekonom Universitas Indonesia ini saat menjabat sebagai Menko Perekonomian. Selain itu juga didalami perannya selaku ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) ketika itu.
"Diantaranya surat-surat yang diterbitkan KKSK saat itu apa saja," kata Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Kamis (4/7).
Nama Dorodjatun sendiri juga disebutkan dalam persidangan terhadap Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.
Dalam vonis majelis hakim menyebutkan bahwa Syafruddin terbukti melakukan korupsi bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim, dan Itjih Nursalim dalam kasus SKL BLBI.
Dalam kasus ini Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim ditetapkan sebagai tersangka karena telah melakukan misrepresentasi. Keduanya pun telah pernah dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai tersangka pada Jumat lalu (28/6). Namun mangkir tanpa alasan panggilan tersebut.
Kasus ini merupakan pengembangan perkara dari fakta persidangan terhadap Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Perkara ini juga telah dibuktikan bahwa Sjamsul Nursalim selaku pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) melakukan misrepresentasi.
Sjamsul ketika itu memasukan piutang petani tambak Rp4,8 Triliun, sedangkan utang para petani tambak tersebut ternyata piutang macet.
Financial Due Diligence (FDD) yang menemukan utang petambak tersebut dalam keadaan macet, kemudian BPPN menyurati Sjamsul untuk menambah jaminan aset sebesar Rp4,8 Triliun. Namun Sjamsul menolak dengan alasan kredit petambak termasuk kredit usaha kecil (KUK).
Karena itu hakim menilai penolakan itu justru bertentangan dengan Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
Namun, pada April 2004, malah terjadi penandatangan Akta Perjanjian Penyelesaian oleh Syafruddin dengan istri Sjamsul, Itjih Nursalim. Dengan kata lain menyatakan pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA. Lalu diterbitkanlah Surat Keterangan Lunas SKL-22 untuk Sjamsul Nursalim.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.