Jakarta, Gatra.com - Anggota Komisi I DPR-RI, Meutya Hafid mengatakan, Indonesia perlu membuat aturan hukum yang kuat untuk melindungi data pribadi warganya. Ia mengamati masyarakat masih menggunakan aplikasi yang berasal dari negara lain. Hal ini menimbulkan rentannya Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Meutya menilai perlu adanya tolok ukur atau sebuah benchmarking dengan negara lain terkait Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Menurutnya Indonesia tidak cocok untuk berkiblat kepada negara Cina dan Amerika Serikat terkait UU PDP.
"Soalnya kalau kita benchmarking kita enggak mungkin benchmarking ke negara yang liberal. Kedua, mungkin banyak perusahaan yang berasal dari negara tersebut, yang memang menguasai atau melakukan data collecting secara masif," ujarnya seusai diskusi publik di Hotel JS Luwansa, Jalan R. H. Rasuna Said, Jakarta, Rabu (3/7).
Ia menjelaskan perbedaan kebijakan yang mendasar dalam perlindungan data pribadi antara Cina dan Eropa. Negara yang memiliki perusahaan global berbasis digital, lanjutnya, biasanya kurang berpihak kepada pemilik data.
"Perusahaan yang melakukan data collecting, tentu negaranya kemungkinan punya interest yang berbeda dengan negara lain. Kalau kita lihat Cina dan Eropa itu berbeda sekali policy-nya dalam menjaga data pribadi. Di Cina, data pribadi cukup konsensus antara pemilik data dengan pemilik aplikasi. Tetapi di Eropa itu harus turun tangan untuk melindungi data pribadi masyarakat," tuturnya.
Perlu diketahui, hari ini Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengadakan diskusi publik bertajuk Urgensi dan Kebutuhan Perlindungan Privasi Data di Indonesia bersama perwakilan dari Kominfo, DPR-RI dan Facebook. ELSAM mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan UU PDP dalam waktu dekat ini.