Jakarta, Gatra.com – Data mengenai produksi dan kebutuhan jagung masih berbeda-beda di tiap instansi, sehingga suplai jagung yang terdata masih simpang siur. Kebijakan pemerintah kerap dikeluhkan masyarakat karena tidak tepat sasaran.
Direktur Pengadaan Beras Bulog, Sonya Mamoriska mengklaim adanya defisit neraca jagung sebesar 300 ribu ton. Data tersebut merupakan hasil riset United States Department of Agriculture (USDA) selama periode 2018/2019. Sementara itu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, Indonesia sudah ekspor jagung sebesar 380.000 ton pada 2019.
Menanggapi hal tersebut, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Kudang Boro Seminar menyarankan adanya sistem yang mampu melacak keberadaan jagung, dalam bentuk biji, tongkol, maupun olahannya.
Hal ini terungkap dalam forum group discussion (FGD) yang bertemakan “Strategi Pemanfaatan Jagung untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Berbasis Protein Hewani, 2019-2024” yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (3/7).
“Ketika harga jagung berfluktuasi kita nggak tahu darimana. Di sini ada system semua pemain jagung monitorable [dapat diawasi] dan harus online. Tahu siapa pelakunya, apa yang terjadi, dan sebagainya,” jelasnya.
Melalui sistem ketelusuran, ia berpendapat, para pelaku usaha tani dan niaga jagung dapat diketahui mulai dari hulu hingga hilir.
“Kalau semua policy maker [pengambil kebijakan] dan konsumen yang sadar tidak bisa melihat jagung ini dari mana. Kita akan sangat sulit meyakinkan pemasaran jagung bisa stabil,” ujar Guru Besar IPB tersebut.
Wakil Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kadin, Suharyo Husen mengapresiasi usulan tersebut karena memungkinkan pemantauan jalur distribusi dari hulu ke hilir, sehingga dapat dibenahi. Ia berpendapat, distribusi merupakan salah satu permasalahan yang terjadi pada komoditas jagung.
“Monitor satu desa mudah, namun monitor secara nasional sulit,” tuturnya.