New York, Gatra.com - Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar mengatakan langkah yang dapat meringankan krisis lebih dari 720.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh, telah mengalami perlambatan dan jika tidak ada tindakan penanggulangan segera, maka sudah saatnya untuk “membunyikan bel alarm” (tanda peringatan ancaman).
Christine Schraner-Burgener mengatakan kepada Majelis Umum PBB, tidak banyak perubahan di lapangan akibat dari banyaknya tantangan termasuk para pejabat sipil Myanmar, yang harus menavigasi di lingkungan yang sangat rawan konflik, di mana militer masih memiliki pengaruh politik yang cukup besar.
"Kompleksitas luar biasa di dalam konflik dalam negeri Myanmar, telah menjadi penghalang bertambahnya krisis Rohingya. Mengakhiri lingkaran setan diskriminasi dan kekerasan, terutama di wilayah Rakhine yang menjadi prioritas utama," katanya, dikutip Time.com, Senin (1/7).
Sebagai langkah pertama, Schraner-Burgener menyerukan lebih banyak yang harus dilakukan untuk mengakhiri pertempuran di Rakhine antara militer Myanmar dan Tentara Arakan, --sebutan pasukan gerilya terlatih dari kelompok etnis Budha yang mencari otonomi untuk Rakhine.
Dia mengatakan pertempuran itu telah menggusur 30.000 umat Buddha dan Muslim.
Myanmar yang mayoritas beragama Buddha telah lama menganggap Rohingya sebagai “orang Bengali" dari Bangladesh, meskipun keluarga mereka telah tinggal lama di negara itu selama beberapa generasi. Hampir semua telah ditolak kewarganegaraannya sejak 1982, secara efektif sehingga membuat mereka kehilangan kewarganegaraan, dan mereka juga ditolak kebebasan bergerak dan hak-hak dasar lainnya.
Wakil koordinator politik Amerika Serikat (AS), Elaine French menyatakan keprihatinan mendalam bahwa hanya sedikit kemajuan yang telah dibuat dalam memperbaiki kondisi di Rakhine, sementara konflik militer dengan Tentara Arakan terus meningkat dan jatuhnya korban sipil terus bertambah setiap hari.
Sementara itu, AS setuju bahwa kondisi di Myanmar tidak kondusif bagi pengungsi Rohingya untuk kembali, dan penangguhan layanan internet oleh pemerintah di Rakhine, justru memunculkan keraguan komitmennya dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan warga Myanmar merasa aman, dapat hidup di dalam negaranya.