Jakarta, Gatra.com - Peneliti dari Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Siti Aminah, menilai bahwa proses pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tertutup.
Aminah menyampaikan keterangan tersebut dalam konferensi pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Selasa (2/7). Menurutnya, hak prosedural warga negara Indonesia tidak sepenuhnya terpenuhi. Pasalnya, warga negara Indonesia memiliki hak partisipasi, hak untuk hadir, dan hak mendapatkan informasi.
"Hak untuk hadir hanya ada di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) setelah kita mengajukan. Hak untuk partisipasi itu kita dapat hadir di rapat-rapat terbuka. Tapi hak informasi, itu juga sulit," ujarnya.
Baca juga: Delik Keagaman RKUHP Banyak Masalah, YLBHI Cs Minta Ditunda
Ia menyebutkan, hingga saat ini masyarakat masih tidak mengetahui draf RKUHP terbaru. Hal ini malah membuat terjadinya kesimpangsiuran informasi di masyarakat.
"Ada yang bilang versi 28 Mei 2018, ada yang bilang versi Agustus 2018, dan lainnya. Yang terbaru yang mana?" kata Aminah.
Baca juga: Masih Banyak Masalah, Aliansi Nasional: Jangan Buru-Buru Sahkan RUU KUHP
Aminah meminta DPR dan pemerintah setidaknya mengunggah setiap notulensi hasil rapat demi memenuhi hak prosedural publik. Namun, kebijakan menganai hal ini belum ada di Indonesia meski telah ada kebijakan mengenai Kebebasan Informasi Publik (KIP).
"Kita pernah meminta notulensi setiap pertemuan, tapi jawaban pejabat mengatakan bahwa data itu tidak ada pada mereka. Jawabannya selalu itu, jadi memang banyak PR [Pekerjaan Rumah] di peraturan perundang-undangan itu," ungkapnya.
Baca juga: KPK Minta DPR Tidak Terburu-buru Sahkan RKUHP
Selain itu, Aminah juga mengkritisi DPR RI untuk mempersiapkan segala hal terkait akses informasi ini.
"Pembahasan-pembahasan itu ya harus selesai bahas langsung di-upload [unggah], jadi masyarakat tahu pendapat masing-masing anggota DPR. Tidak di paripurna saja, tapi proses day by day [setiap hari]. Itu yang menurut kami tertutup," katanya.