Jakarta, Gatra.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terkait delik keagamaan memiliki banyak kekurangan. Banyak kata multitafsir dalam RKUHP ini seperti pada Pasa 250 dan 313 yang menggunakan kata 'penghinaan'.
Ketua Bidang Pengembangan YLBHI, Febiyonesta, mengatakan bahwa dengan adanya konstruksi atau rumusan pasal yang multitafsir tersebut dapat menyebabkan pengkritik terhadap ulama atau institusi keagamaan dapat dijerat hukum pidana. Padahal, kritik itu adalah suatu hal yang biasa dalam kehidupan bermasyarakat.
"Kalau masyarakat mengkritik atau ulama yang kepleset ucap, itu bisa saja dikritik. Tapi karena ada pasal ini kemungkinan jeratan terhadap mereka yang mengkritik tokoh agama, institusi keagamaan dan agama itu sendiri sangat bisa dijerat," ujar Febi di YLBHI, Jakarta, Selasa (2/7).
Baca juga: Delik Keagaman RKUHP Banyak Masalah, YLBHI Cs Minta Ditunda
Bahkan, lanjut Febi, jika kritik membangun sekali pun menjadi mudah dikriminalisasi dengan adanya pasal penghinaan ini. Menurutnya, kata penghinaan merupakan sebuah hal yang subyektif.
"Sebetulnya pasal penghinaan di KUHP lama dan praktik di beberapa negara masih ada. Tapi penghinaan semacam apa? Pertama, harus secara objektif dinilai dulu tindakan penghinaannya," kata Febi.
Baca juga: KPK Minta DPR Tidak Terburu-buru Sahkan RKUHP
Ia menambahkan, seharusnya kata 'penghinaan' dalam RKUHP tersebut dapat dibuat lebih jelas. Jika RKUHP ini disahkan dengan kata multitafsir, dikhawatirkan kritik dan perbedaan pendapat pun dapat dipidana.
Selain itu, ia menyebutkan bahwa harus ada tes validitas bagi pelapor yang mengklaim untuk mempresentasikan agama. Namun, ia mempertanyakan apa yang akan menjadi acuan atas validitas klaim tersebut.
"Kan ini masalahnya bukan soal kemerdekaan beragama tapi ini soal agama. Terus gimana ngetesnya agar punya klaim mewakili?" Katanya.