Kebumen, Gatra.com – Nama Karangsambung, barangkali kalah populer dibanding dengan Gua Jatijajar, Pantai Karangbolong, ataupun Pantai Ayah yang telah lama dikenal sebagai destinasi wisata andalan Kebumen, Jawa Tengah. Tetapi, bagi ilmuwan, ada misteri sekaligus ilmu yang bisa digali di pegunungan utara Kebumen ini.
Sebagaimana namanya, Karangsambung, adalah titik pertemuan lempeng samudra dan lempeng benua yang kemudian menyembul menciptakan daratan baru. Lantai Pulau Jawa dari dasar samudra bisa dijelajah untuk menyingkap sejarah bumi ratusan juta tahun lampau.
Kepala Pelaksana Teknis Balai Informasi dan Konservasi Kebumian (UPT BIKK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Karangsambung, Edi Hidayat, mengatakan, kehidupan bawah laut dan proses kebumian pun menjadi artefak yang terus digali untuk menyingkap tabir sejarah kehidupan bawah laut pada masa lalu.
Di tempat itu, terbentang 22 ribu hektare kawasan konservasi geologi. Dari luasan itu, telah terdeteksi 30 titik situs kebumian yang teramat penting. Sebagian berada di tanah negara di bawah pengelolaan Perhutani. Tetapi, sebagian lainnya berada di tanah pribadi.
Batuan purba yang berada di tanah pribadi inilah yang terancam. Perbukitan ditambang lantaran kualitasnya yang jauh lebih tinggi daripada batu hitam penambangan batu di luar Karangsambung.
“Karena memang batuannya lebih keras dan bagus,” katanya, beberapa waktu lalu.
Warga tak tahu, mereka tengah memotong mata rantai muasal daratan Jawa dan kehidupan awal mula bumi. Oleh sebab itu, Balai Konservasi Kebumian LIPI mendorong agar terjadi perubahan mata pencaharian dari penambang menjadi masyarakat pariwisata.
Dari 30 lokasi batuan purba yang dinilai vital itu, baru delapan yang diselamatkan. Delapan titik batuan penting itu telah dibeli oleh LIPI. “Delapan batuan itu ibaratnya intinya. Masyarakat memang tidak tahu bahwa batuan di Karangsambung adalah singkapan samudera masa lalu. Wilayah konservasi menjadi tempat penelitian geologi untuk mengetahui kehidupan bawah laut yang bisa membuka lembar sejarah kehidupan sebelum manusia,” Edi menjelaskan.
Menurut Edi, kawasan ini mesti dilindungi lantaran telah ditahbiskan sebagai kawasan geologi terbesar di Asia Tenggara dan terlengkap di dunia. Bahkan, kini, kawasan itu telah menjadi cagar alam geologi nasional. Di situ didapati batuan hasil proses kebumian batu beku seperti basal, granit, gabro, andesit, diabas dan dasit. Selain itu, ada pula batuan sedimen yang meliputi rijang, konglomerat, batu pasir, gamping merah dan kalkarenit.
Adapun batuan metamorf terdiri dari kuarsit, serpenit, sekis mika, filit, karmer dan gnels. Batuan purba itu tercipta antara 120-60 juta tahun yang lalu. Seluruhnya tersaji di area tiga kabupaten, meliputi Kebumen, Banjarnegara dan Wonosobo.
Sejauh ini, upaya Balai Konservasi Geologi LIPI terhitung berhasil. Kawasan geologi, perlahan tapi pasti, menjadi destinasi wisata umum, tak sekadar ilmu pengetahuan atau wisata minat khusus. Per tahun, "kampus geologi" dan "museum alam" ini dikunjungi sekitar 13.500. Bahkan pada puncak keemasan batu akik sekitar 2015 lalu, jumlah turis mencapai 17.500 orang.
“Memang paling banyak mahasiswa, peneliti dan pelajar. Tetapi, ada tren peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung untuk menyaksikan keunikan bebatuan di Karangsambung,” kata Edi.
Seorang bekas penambang yang kini menjadi pedagang dan turut membantu mengelola wisata Bukit Pentulu, Sutar (37), mengatakan, setahun lalu, ia masih berprofesi sebagai penambang pasir di Sungai Luk Ulo, yang juga merupakan kawasan konservasi lantaran bekas sungai bawah laut.
Ada kalanya, ia mengadu nasib menjadi buruh batu koral yang ditambang dengan ledakan dinamit. Tetapi, ia mulai sadar dan beralih mengadu nasib menjadi pedagang.
Bukit Pentelu dikunjungi 50 hingga 100 orang di tengah pekan dan 200-300 pengunjung pad akhir pekan atau hari libur. Sutar adalah satu di antara puluhan penambang lain yang mulai menyadari aset Karangsambung sebagai wisata berbasis minat khusus.
“Memang hasilnya belum seberapa. Tapi, saya yakin, ke depan prospeknya bagus,” ujar Sutar.