Jakarta, Gatra.com - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati meminta pemerintah segera mereformasi institusi Polri dalam penegakan hukum. Sebab dia menemukan masih banyak kesalahan dalam kerja penegakan hukum.
"Karena itu kami menuntut agar negara segera melakukan upaya upaya reformasi kepolisian yang serius, substantif, dan bukan yang berupa gimik," katanya di Kantor YLBHI, Senin (1/7).
YLBHI, lanjut Asfinawati menemukan tujuh kesalahan yang kerap dilakukan Korps Bhayangkara, yaitu, kriminalisasi dan minimnya akuntabilitas penentuan tersangka, undue delay, mengejar pengakuan tersangka, penangkapan sewenang-wenang, penahanan sewenang-wenang, hak penasihat hukum yang dibatasi dan torture atau penyiksaan.
Dalam penegakan hukum, penyidik kepolisian juga kerap menggunakan cara kekerasan. Hal ini, lanjut Asfinawati, disebabkan kewenangan mutlak dalam melakukan penahanan tanpa diimbangi proses hukum di luar institusi Polri.
Asfinawati mendesak agar cara itu dirubah dan lebih mengedepankan cara humanis. "Padahal kita tahu dengan darah rakyatlah polisi di reformasi, dari menjadi bagian tentara, menjadi menjadi institusi yang berdiri sendiri. Itu semua dibayar dengan darah rakyat," ungkap dia.
Sementara itu, Ketua YLBHI Bidang Advokasi, Muhamad Isnur mengatakan, reformasi tubuh kepolisian membutuhkan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Menurutnya, keterlibatan kedua elemen tersebut sangat penting dalam upaya reformasi kepolisian.
"DPR sebagai lembaga pengawasan misalnya, haris memastikan bagaimana pelayanan, pemenuhan, dan penghormatan polisi terhadap HAM itu terpenuhi. Kemudian, Presiden sebagai atasan Kapolri harus tegas. Misalnya dalam membentuk tim layanan informasi, tim pemantauan yang dapat mengawal kinerja Polri. Sehingga laporan-laporan dari masyarakat ke kepolisian itu terpantau," papar dia.