Hong Kong, Gatracom - Hong Kong tengah bersiap untuk melakukan perayaan kemerdekaan tahunan mereka yang jatuh pada hari Senin (1/7). Peringatan tersebut akan dibarengi dengan aksi unjuk rasa warga Hong Kong atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi.
Dalam beberapa tahun terakhir, peringatan dibebaskannya Hong Kong dari jajahan Inggris pada tahun 1997 ditandai dengan meningkatnya campur tangan pihak luar soal urusan dalam negara merdeka tersebut.
Beijing membantah telah melakukan campur tangan terhadap Hong Kong. Namun, bagi warga Hong Kong, undang-undang ekstradisi yang diusulkan merupakan langkah yang digunakan pihak luar untuk mengontrol mereka.
"Jika Hong Kong bukan lagi kota internasional, Hong Kong akan binasa. Adalah tanggung jawab kita untuk memberi tahu kepada dunia," kata mantan anggota parlemen oposisi, Margaret Ng.
Melasir Reuters, (Minggu 930/6), pemimpin Hong Kong yang diperangi oleh warganya adalah Carrie Lam. Ia didukung oleh Beijing untuk mengatur RUU Ekstradisi dan menangguhkannya.
Lam meminta maaf kepada publik atas kekacauan yang ditimbulkan oleh aturan RUU tersebut. Namun, ia menolak untuk membatalkan RUU tersebut dan menolak untuk mundur dari kepeimpinannya.
Para demonstran juga menuntut pemerintah untuk menghentikan semua tuduhan terhadap warga yang melakukan demo. Demonstran juga menyebut aparat kepolisian menggunakan kewenangan mereka secara berlebihan. Pihak aparat menganggap demonstran sebagai dalang kerusuhan dan dapat dihukum penjara.
Koordinator aksi mengatakan bahwa akan terjadi peningkatan jumlah aksi massa terhadap gagalnya pemeritah kota untuk menarik kembali RUU Esktradisi.
Lebih dari satu juta orang turun ke jalan selama tiga minggu terakhir untuk melampiaskan kemarahan dan frustrasi mereka kepada Lam. Hal ini merupakan kerusuhan terbesar bagi pemimpin Tiongkok, Xi Jinping, sejak ia berkuasa pada tahun 2012 lalu.
Hong Kong kembali diserahkan kepada pemerintahan Tiongkok pada 1 Juli 1997. Sejak itu, mereka menganut sistem pemerintahan 'satu negara, dua sistem'. Akibatnya, terdapat ancaman kebebasan tidak dapat dinikmati di daratan Tiongkok. Termasuk kebebasan melakukan aksi protes atau demonstrasi dan peradilan independen.
Massa yang menolak RUU Ekstradisi, melihat RUU ini sebagai ancaman terhadap aturan hukum. Mereka khawatir hal itu akan menempatkan mereka pada sistem peradilan Tiongkok, yang tidak mengabaikan hak asasi manusia.
Setelah Hong Kong dibebaskan dari jajahan Inggris, warga dijanjikan akan memperoleh otonomi. Namun, tekanan yang diberikan Beijing memicu kebencian dan pada 2014 aksi protes prodemokrasi terjadi, sehingga melumpuhkan beberapa bagian kota selama 79 hari.
Kegagalan protes yang dilakukan warga untuk menggulingkan konsesi pada demokrasi, ditambah dengan tuntutan terhadap 100 demonstran yang masih muda, membuat banyak demonstran enggan untuk kembali ke jalan.
Koordinator aksi mengatakan, sekitar 50.000 orang melakukan unjuk rasa pada tahun 2018 lalu. Sementara itu, polisi menyebutk jumlah para demonstran sebanyak 9.800 orang.