
Cilacap, Gatra.com – Pondok Pesantren Rubat Mbalong Ell Firdaus, Tambaksari, Kecamatan Kedungreja, Cilacap, Jawa Tengah, mulai membudidayakan lebah madu sebagai bagian dari pemberdayaan ekonomi.
Lebah madu itu merupakan tangkapan alam yang kemudian dijinakkan di lingkungan pesantren. Lebah madu juga merupakan bagian dari mata rantai sistem pertanian terpadu yang dikembangkan pesantren ini.
Pengurus bagian humas Ponpes Rubat Mbalong Ell Firdaus, Syamsul Wibowo, mengatakan, selain nilai ekonominya, lebah madu merupakan hewan yang sangat berguna dalam proses penyerbukan. Penyerbukan yang baik menjamin produktivitas tanaman akan tinggi.
Menurut dia, ini penting lantaran ponpes tengah mengembangkan pertanian terpadu dan pertanian organik. Keberadaan penyerbuk alami sangat berpengaruh terhadap produktivitas. Lebih dari itu, lebah menghasilkan madu yang bernilai jual sangat tinggi.
Satu botol madu berukuran 600 mililiter dijual dengan harga Rp160 ribu. Pesantren juga menyediakan paket lebih kecil, berukuran 300 mililiter dengan harga separuhnya. Selain madu dari budi daya santri, pihak ponpes juga mengepul madu dari peternak di sekitar pesantren.
“Permintaan cukup tinggi. Kami menjualnya dengan jaringan pertemanan, juga media sosial,” katanya, Sabtu (29/6).
Kini, santri telah memiliki lima kandang lebah madu. Usia koloni madunya beragam, antara 28 hari dan yang terbaru lima hari. Dari tiga koloni yang tertua, yakni, 21, 24 dan 28 hari, sudah diperoleh madu sebanyak tiga botol ukuran 600 mililiter. Adapun koloni yang termuda, yakni lima hari, baru memasuki periode adaptasi. Produksi madu memang masih kecil. Karena itu, para santri terus berburu lebah madu liar di alam untuk dijinakkan di lingkungan pesantren.
Biasanya setelah seminggu mulai membuat sarang yang berbentuk heksagonal. Lantas, pada pekan kedua dan ketiga, pertumbuhan sarang semakin cepat lantaran lebah pekerja sudah betah dan cukup mengenal lingkungannya.
“Pada pekan ketiga sampai pekan keempat, madu sudah bisa dipanen. Tapi tidak semuanya, agar tetap betah,” katanya.
Syamsul mengungkapkan, pihaknya berupaya membekali santri dengan beragam keahlian. Harapannya, setelah lulus pesantren kelak, mereka tak hanya mumpuni dalam bidang ilmu agama, namun juga memiliki keahlian tertentu, sesuai dengan bidang yang mereka minati.
Seorang santri, yang juga penanggung jawab budi daya lebah, Irfan, mengaku masih belajar soal lebah madu. Sebagai pemula, ia masih sedikit khawatir terhadap sengatan lebah. Ia belajar budi daya lebah madu itu dari warga Tambaksari yang sudah delapan tahun membudidayakan lebah madu.
“Setiap kandang nantinya bisa menghasilkan dua botol. Kalau jumlah lebahnya sudah bertambah dan tawonnya sudah betah,” ujar Irfan.
Ia mengaku tertarik membudidayakan lebah karena madunya yang bernilai tinggi, dan prospek pemasarannya pun bagus. Terbukti, peternak lebah di Desa Tambaksari tak pernah kelebihan produksi. Dari hari ke hari, jumlah permintaan kian banyak.
“Sekarang menjualnya mudah. Tinggal di-share di Facebook, pembeli datang,” ujarnya.