Tangerang Selatan, Gatra.com - Penyandang tuna rungu (tuli) mengalami kesulitan untuk memahami informasi melalui suara. Oleh karena itu, penggunaan ekspresi, bahasa tubuh, dan komunikasi visual menjadi kunci dalam melakukan komunikasi dengan mereka.
Juru Bahasa Isyarat (JBI), Luluk Kusuma Wardani mengaku dirinya mengikuti kelas untuk mempelajari bahasa isyarat. "Teman-teman tuli yang menentukan kita bisa atau tidak," ujarnya ketika ditemui di Brouven Coffee, Heritage Bintaro Junction, Tangerang Selatan, Sabtu (29/6).
Menurut pengamatannya, gerakan isyarat tangan para penyandang tuna rungu terjadi secara alami dan menjadi bahasa ibu mereka. "Sebaiknya belajar dari mereka secara langsung karena mereka yang punya bahasa," tuturnya.
Luluk mengaku bahasa isyarat tiap daerah-daerah berbeda-beda. Namun, ketika mereka bertemu bisa saling mengerti satu sama lain dan timbul pertukaran budaya.
Menurutnya, ekspresi adalah komponen paling penting dalam berkomunikasi dengan penyandang tuna rungu. "Sebenarnya kenyamanan mereka masing-masing, ada yang nyaman menggunakan bahasa isyarat, tulisan, ada macam-macam variasi [lainnya]," jelasnya.
Luluk mengatakan belum ada kampus khusus yang mengajarkan banyak isyarat. Ia mengungkapkan hanya ada 50 JBI yang terdaftar di Indonesia.
Pendiri Lembaga Advokasi Inklusi Disabilitas (AUDISI), Yustitia Arif mengingatkan penyandang tuna rungu dan tuna netra lebih perasa dibanding penyandang disabilitas lainnya. "Komunikasi denagn tuli harus berhadapan wajah karena banyak yg bisa berhadapan bibir. Bicara perlahan, hadap wajahnya," tuturnya kepada Gatra.com di lokasi yang sama.
Menurutnya, masyarakat harus memahami keterbatasan mereka namun perlakukan dengan setara. "Paling penting hilangkan stigma, setara bahwa setiap hak yang kita punya juga dimiliki oleh penyandadmg disabilitas," tegasnya.