Jakarta, Gatra.com - Riset dan pengembangan (R&D) merupakan kunci dalam peningkatan produksi tebu, terutama dalam aspek budidaya tanaman tebu. Hal ini terungkap dalam "Dialog Industri Gula Nasional Setelah Revitalisasi” di Gedung Tempo, Jakarta, Jumat (28/6).
“Cara pandang industri adalah competitive advantage. Oleh karena itu, saya kalau kita mau masuk ke industri, langkah pertama R&D,” ungkap ekonom pertanian, Agus Pakpahan.
Agus mengungkapkan, pengeluaran R&D di Indonesia hanya 0,08% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Angka itu jauh di bawah Malaysia sebesar 2,5% dan Korea Selatan 4%. Menurutnya, dana R&D ideal dalam usaha pertanian minimal 2,5% dari belanja modal (capital expenditure).
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Arum Sabil, mengatakan bahwa industri tebu pernah berjaya pada tahun 1930-an. Waktu itu, dari luas lahan sekitar 200 ribu hektare dapat memproduksi gulu hingga 2,9 juta ton.
“Tanaman tebu di situ dirawat sesuai dengan kultur teknis. Varietas unggul betul-betul dihasilkan dari para peneliti sesuai dengan hasil riset, sehingga efisiensi mulai dari tanaman sampai di pabrik betul-betul di situ menjadi satu alur. Alhasil, saat itu rendemennya bisa 12-14%,” ujarnya.
Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk revitalisasi pabrik tebu. Menurut Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X, Dwi Satrio Annurogo, revitalisasi mampu meningkatkan produksi dan efisiensi.
“Revitalisasi enggak hanya menaikkan kapasitas ya, ini juga meningkatkan efisiensi dan juga nanti ada produk-produk tambahan. Dengan efisiensi itu didapatkan produk samping yaitu bagasse atau ampas tebu. Ampas tebu inilah yang akan menambah revenue dari pabrik-pabrik tersebut,” ungkapnya.
Dwi menambahkan, pihaknya juga merencanakan pembangunan pabrik bioetanol untuk bahan bakar. Menurutnya, upaya ini juga dapat membantu menyerap tebu petani karena 95% bahan baku berasal dari mereka.