Jakarta, Gatra.com - Ekonom pertanian, Agus Pakpahan, berpendapat bahwa kebijakan impor gula sebaiknya dikelola sedemikian rupa, sehingga mampu meningkatkan produksi gula nasional. Ia menyampaikan pandangannya dalam “Dialog Industri Gula Nasional Setelah Revitalisasi” di Gedung Tempo, Jakarta, Jumat (28/6).
Agus menerangkan, antara tahun 2002-2008 terjadi peningkatan produksi dari 1,4 juta ton menjadi 2,6 juta ton. Namun sejak tahun 2008, produksi turun hingga menjadi 2,1 juta ton pada 2017. “Kalau kebijakan benar, produksi akan meningkat,” ujarnya.
Agus menyarankan agar gula mentah (raw sugar) impor digunakan ketika terjadi kapasitas menganggur (idle capacity) dan hasil keuntungan pengolahannya digunakan untuk investasi ke sektor kebun. Hal ini mendorong peningkatan produksi selama 2002-2008.
“Makin hari impor berkurang Cuma lewat itu. Faktanya demikian. Saya rasa swasta tidak melakukannya,” ujar Agus.
Selain itu, ia menyayangkan beralihnya tanggung jawab impor gula dari Negara (Bulog) kepada swasta akibat adanya ketentuan dari International Monetary Fund (IMF).
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Arum Sabil, mengungkapkan, petani harus menjual tebunya sendiri setelah Bulog tidak lagi memonopoli tata niaga gula. Harga gula turun drastis dan gula impor membanjiri pasar.
“Saya masih ingat waktu itu ada kebijakan yang sudah direvisi menjadi SK Menperindag No 527. Waktu itu mengatur bahwa siapa yang boleh melakukan impor gula ini diatur di sini. Khusus yang boleh melakukan impor gula itu ada 2 kelompok, yaitu importir terdaftar [bahan bakunya minimal 75% dari petani] dan importir produsen,” ungkapnya.
Arum menjelaskan, waktu itu diterapkan sanksi dan adanya jaminan harga yang diatur oleh regulasi. Kemudian, Peraturan Menteri Perindustrian No.10/M-IND/PER-3/2017 mengatur bahwa perusahaan industri gula baru harus memenuhi minimal 20% bahan bakunya yang bersumber dari perkebunan tebu terintegrasi.
Ia menambahkan, pabrik baru banyak mengimpor raw sugar karena rendemennya di bawah 5%, berbeda dengan pabrik tebu lama yang rendemennya rata-rata sebesar 8%.
Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X, Dwi Satrio Annurogo, mengatakan, pihaknya siap apabila mendapat penugasan impor dari pemerintah. Apalagi beberapa pabriknya sudah direvitalisasi seperti PG Gembolkrep yang produksinya naik dari 6.500 TCD (ton cane per day) menjadi 8.000 TCD.
Dwi menjelaskan, berdasarkan audit teknologi yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT), PTPN X memiliki potensi produksi hingga 443.000 ton. Saat ini, produksi PTPN X sebesar 335.000 ton atau 21% dari total produksi nasional.
“Kemampuan olah raw sugar kami suap. Berilah PTPN kesempatan. Kami siap hilirisasi,” ujarnya.