Home Milenial Sudah Ketinggalan Zaman, UU No 41 Tahun 1999 Harus Direvisi

Sudah Ketinggalan Zaman, UU No 41 Tahun 1999 Harus Direvisi

Jakarta, Gatra.com - Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Ahmad Safrudin mengatakan, UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sudah tidak relevan lagi untuk digunakan saat ini. Seharusnya, pemerintah telah merevisi aturan perundang-undangan kawasan hutan terpadu sejak 15 tahun yang lalu, yaitu pada 2004. Terutama menyangkut kesatuan ekosistem berupa udara bersih. 

"Seharusnya UU No. 41 Tahun 2004 itu sudah harus direvisi sejak tahun 2004 lalu. Karena pada aturannya, UU No. 41 itu memang harus direvisi setiap lima tahun sekali agar tetap relevan dengan apa yang terjadi saat ini," ujar Safrudin, atau yang kerap disapa Puput itu, saat ditemui di kantor KPBB, Jumat (28/6).

Maksud dari revisi itu, kata Puput, supaya standar nasional baku mutu udara Indonesia selaras dengan standar internasional yang dikeluarkan oleh World Healt Organization (WHO). Tidak hanya itu, menurutnya, standar mutu yang digunakan oleh pemerintah Indonesia saat ini sudah kedaluarsa.

Misalnya saja, masyarakat lebih sering menggunakan Standar Internasional dari Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk mengukur kualitas udara. Sedangkan pemerintah, masih menggunakan alat lama yang sudah biasa digunakan.

"masyarakat lebih sering menggunakan US AQI sebagai acuan, sementara pemerintah memakai standar nasional yang sudah kadaluarsa karena belum direvisi sejak 1999," kata dia.

Lebih lanjut, Puput menyebutkan, US AQI memiliki acuan; 0-35 mikrogram/m³ adalah udara berkategori baik, 36-55 mkg/m³ (sedang), 56-65 mkg/m³ (tidak sehat), 66-100 mkg/m³ (sangat tidak sehat), dan 100 mkg/m³ ke atas (berbahaya).

Sedangkan yang digunakan oleh pemerintah Indonesia sejak 1999 adalah seperti berikut: 0-65 mkg/m³ (baik), 66-100 mkg/m³ (sedang), 101-150 mkg/m³ (tidak sehat), 151-200 mkg/m³ (sangat tidak sehat), 200 mkg/m³ ke atas (berbahaya).

Sebenarnya, menurut Puput, yang menjadi masalah ialah perbedaan tolok ukur yang dipakai pemerintah dengan tolok ukur yang berdasarkan pada standar internasional.

"Ini yang menjadi masalah, masyarakat sipil mengatakan terjadi pencemaran. Tapi pemerintah mengatakan belum atau masih sedang, masih aman. Nah, masyarakat sipil menggunakan standar WHO," pungkasnya.

5040