Jakarta, Gatra.com - Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Andono Warih, menyebutkan data AirVisual yang menunjukkan Jakarta merupakan kota paling berpolusi di dunia tidak sepenuhnya tepat. Sebab, parameter yang digunakan lembaga tersebut dalam mengukur kualitas udara berbeda dengan standar yang ada di Indonesia.
Selasa lalu (25/6), AirVisual merilis data yang menyebutkan bahwa nilai Air Quality Index (AQI) Jakarta berada di angka 240 dengan konsentrasi PM 2.5 sebesar 189.9 ug/m3. Data ini menunjukkan kualitas udara di ibu kota Indonesia ini sangat tidak sehat (very unhealthy).
Menurut Andono, data yang disebutkan AirVisual dihasilkan berdasarkan pengukuran yang mengacu pada US AQI dengan baku mutu PM 2.5 US EPA sebesar 40 ug/m3. Sementara Indonesia, menggunakan parameter yang mengacu pada indeks PM 10, SO2, CO, O3, dan NO2 dengan standar partikel debu PM 10.
“Indeks kualitas udara di Indonesia belum mengunakan parameter PM 2.5, namun nilai konsentrasi PM 2.5 sudah diatur sebesar 65 ug/m3 per 24 jam. Standar ini memang sedikit lebih tinggi dari standar US EPA sebesar 40 ug/m3,” kata Andono di Jakarta, Kamis (27/6).
Andono menjelaskan, dalam kurun waktu tertentu kualitas udara di ibu kota telah memenuhi baku mutu. Namun, ia pun mengakui bahwa udara di Jakarta memang berpolusi. Menurutnya, polusi tersebut disebabkan oleh transportasi darat, industri, dan debu akibat giatnya proyek pembangunan fisik.
"Debu dari proyek pembangunan juga turut menurunkan kualitas udara di Jakarta, ini wajar karena Jakarta merupakan kota metropolitan yang sedang giat membangun," ujarnya.