Jakarta, Gatra.com – Indonesia ternyata menjadi surga bagi pertumbuhan industri telepon genggam. Saat ini tercatat jumlah telepon genggam di Indonesia sebesar 355,3 juta unit. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan sebesar 268,2 juta merujuk pada data Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Adapun penetrasi internet di Indonesia sebesar 150 juta pengguna atau 56% dari keseluruhan penduduk. Rata-rata pemakaian internet orang Indonesia sebesar 8,5 menit/jam, di atas rata-rata dunia sebesar 6 menit/jam. Bahkan, pengeluaran untuk aplikasi mobile sebesar US$ 313,5 juta pada tahun 2018.
Hal ini disampaikan oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Nunung Nuryantono dalam Press Briefing Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Kamis (27/6).
Menurutnya akses internet mendorong masyarakat untuk berbelanja sekaligus menambah pengetahuan. Ia menerangkan travel dan akomodasi merupakan komponen e-commerce dengan nilai terbesar, yaitu senilai US$ 9,376 miliar.
“Satu sisi baik menambah pengetahuan, sisi lain melihat marketplace yang ada apakah banyak konten impor. Kalau banyak impor uang kita banyak dikeluarkan. Ini pasti memberat kondisi neraca perdagangan kita,” jelasnya.
Nunung menjelaskan produk-produk asing menguasai pasar telepon genggam Indonesia. Ia mengungkapkan Samsung dari Korea Selatan memiliki pangsa pasar terbesar sebesar 31,4%. “Kita lihat berapa banyak brand lokal?".
Ia menekankan pentingnya riset dan pengembangan di bidang TIK. “Road map-nya harus jelas ICT apa yang dikembangkan, apakah masuk ke hardware atau softwarenya. Dua-duanya perlu SDM (sumber daya manusia),” ujar Nunung.
Dalam pandangan terpisah, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional, Arif Budimanta menerangkan bahwa komoditas turunan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) atau information and communication (ICT) berkontribusi sebesar 41,70% atau senilai US$ 5,81 miliar USD berdasarkan data dari UN Comtrade. Dalam sektor TIK, perangkat telepon merupakan kontributor terbesar yakni 27,07%.
“Neraca transaksi (berjalan) negatif disebabkan oleh neraca jasa dan neraca barang ICT, termasuk games, aplikasi, dan termasuk peralatan-peralatan yang menunjang ICT,” ungkapnya.
Arief menyarankan pengembangan ICT untuk mengatasi defisit neraca transaksi. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 31,05 miliar. Menurutnya, impor dan ekspor barang maupun jasa termasuk komponen neraca transaksi berjalan.