Temanggung, Gatra.com – Lembaga Pendidikan Ma’arif Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah menyusun program peningkatan kurikulum dan penguatan ideologi. Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama berperan membangun karakter bangsa dan pluralisme.
Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif PWNU Jateng, Andi Irawan, mengatakan, sekolah Ma’arif mendominasi jumlah madrasah. Melansir data Kementerian Agama tahun 2018, jumlah madrasah (ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah) negeri hanya 7 persen.
“Sebanyak 93 persen madrasah itu statusnya swasta. Jika kita bicara (madrasah) swasta, dari yang 93 persen itu mayoritas Ma’arif,” kata Andi Irawan kepada Gatra.com di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Temanggung, Rabu (26/6).
Sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan dan ideologi, Lembaga Pendidikan Ma’arif Jateng akan melakukan standardisasi kurikulum, amaliyah, dan simbolisasi di seluruh sekolah.
Pengurus akan memperbaiki konten buku pengenalan Nahdlatul Ulama yang selama ini menjadi materi muatan lokal di seluruh sekolah Ma’arif. “Perlu kami perbaiki sehingga sesuai dengan perkembangan zaman.”
Sebagai penguatan akidah, sekolah juga wajib melaksanakan amaliah ahlusunnah waljamaah seperti istighotsah, manakib, tahlil, ziarah kubur, dan kunut. Kemudian standar simbolisasi dengan menampilkan tokoh-tokoh utama NU di lingkungan sekolah.
“Krisis pendidikan kita saat ini soal moralitas. Jadi, barang siapa yang menyekolahkan anaknya di Ma’arif, insyallah akan mendapat ilmu sains, humaniora, dan juga agama. Dapat ilmu spiritual dan moral,” kata Andi Irawan.
Ma’arif akan memperkuat prinsip pendidikan inklusif yang terbuka menerima peserta didik dari beragam latar belakang sosial. Bekerja sama dengan Unicef, sejumlah sekolah Ma’arif di Kabupaten Banyumas, Kebumen, Brebes, dan Semarang menjadi proyek percontohan pendidikan inklusif untuk penyandang disabilitas.
“Semua latar belakang masyarakat diterima. Kami mau membentuk sekolah Ma’arif dan madrasah itu terbuka untuk semua kalangan termasuk anak-anak disabilitas.”
Untuk menjalankan program-program tersebut, Lembaga Pendidikan Ma’arif Jateng membentuk tim pengembang tingkat wilayah. Sebanyak 13 orang dari akademisi, pengurus Ma’arif cabang, guru dan kepala sekolah diberi tugas mengkaji dan mengambil kebijakan strategis untuk mengembangkan Ma’arif.
Tim wilayah kemudian menunjuk tim pengembang tingkat cabang di kabupaten/ kota dari unsur yang sama untuk menerima kebijakan dan melakukan pendampingan ke sekolah.
Lebih teknis lagi, Ma’arif membentuk fasilitator daerah untuk memperbaiki kemampuan numerasi (kecakapan matematika dasar) dan literasi (kecakapan baca, tulis) peserta didik.
Menurut hasil survei Unesco mengenai minat baca penduduk dunia tahun 2016, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Rata-rata orang Indonesia membaca buku 3 sampai 4 kali seminggu, dengan durasi 30-60 menit sehari. Jumlah buku yang ditamatkan hanya 5 sampai 9 buku dalam setahun.
Beberapa penelitian mengungkap adanya hubungan minat baca masyarakat dengan masifnya penyebaran konten negatif, hoaks, isu radikalisme dan intoleransi.
“Termasuk kami ingin punya sekolah unggulan di kota-kota. Di kota, yang berkembang sekolah Islam cenderung kanan (konservatif). Ma’arif ingin mengimbangi perkembangan itu,” ujar Ketua Ma’arif PWNU Jateng.