Jakarta, Gatra.com - Kredit terhadap Gross Domestic Product (GDP) Indonesia masih berada pada level bawah pada 2019 yaitu, kisaran 10% hingga 12%.
Untuk mendorong itu, Bank Indonesia mengeluarkan suatu kebijakan, disamping kebijakan moneternya. Kebijakan tersebut melalui kebijakan makroprudensial guna mendorong dan menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, Juda Agung mengatakan pemerintah akan medorong kredit terhadap GDP tersebut melalui kebijakan makroprudential untuk tiga hingga lima tahun kedepan.
"Instrument kebijakan guna mendorong kredit GDP, antara lain dengan instrumen Loan to Value (LtV) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM)," katanya Juda di CGV, Grand Indonesia, Jakarta, Rabu (26/6).
LtV merupakan pengelolaan fungsi intermediasi dan mengendalikan resiko kredit. Sedangkan, PLM meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas perbankan.
Juda Agung mengatakan, sejak tahun lalu, BI sudah melonggarkan baik di LTV, sisi likuiditas, maupun berbagai kebijakan lainnya. Ini semua dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dikatakan, kalau ada ruang likuiditas dari bank untuk menyalurkan kredit, maka diharapkan dapat disalurkan ke sektor yang produktif seperti eksport oriented atau kepada sektor-sektor yang bisa mendorong kapasitas perekonomian Indonesia.
Persentase kredit terhadap GDP Indonesia pada 2022 diharapkan mencapai 15%, pada 2023 mencapai 27%, dan pada 2024% mencapai 17%.