Jakarta, Gatra.com - Tuntutan hukum terhadap dokter dan rumah sakit atas dugaan malpraktik medis yang masih kerap terjadi menimbulkan kekhawatiran di masyarakat.
Kepala Kompartemen, Hukum, Advokasi dan Mediasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Budi Sampurna menuturkan, pembuktian kasus dugaan malpraktik medis harus memenuhi empat hal yang menjadi syarat untuk menentukan ada tidaknya kelalaian dalam tindakan medis dokter dan rumah sakit.
“Empat hal itu duty of care, drereliction atau breach of duty, damages, dan direct causalship," ujar Budi Sampurna dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com, Rabu (26/6).
Ia mengatakan hal itu pada sebuah seminar yang bertajuk Kelalaian Medis Siapa Tanggung Jawab?. Budi menjelaskan saksi ahli yang tepat dihadirkan dalam dugaan malpraktik medis adalah dari kalangan dokter yang mempunyai keahlian dan berpraktik di tempat yang fasilitasnya sama dengan dokter yang diadukan.
"Bukan dokter ahli yang lebih tinggi tingkatnya dan praktik di tempat dengan fasilitas yang lebih baik,” jelasnya.
Rumah sakit yang telah memiliki standar operasional prosedur (SOP) untuk tenaga medis akan lebih sedikit berpotensi melakukan malpraktik. Budi menyebut pengecualian tanggung jawab rumah sakit dari tuntutan hukum apabila sudah memiliki SOP dan pranata lain yang sesuai dengan UU Rumah Sakit.
Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Agus Purwadianto memaparkan bahwa MKDKI merupakan lembaga yang berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, serta menetapkan sanksi.
"Sebagai penegak disiplin kedokteran, MKDKI memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter,” tegas Agus Purwadianto.
Namun Agus Purwadianto mengakui masih sering ditemukan salah tempat dalam mengadukan dugaan malpraktik kedokteran. “MKDKI tidak menerima pengaduan mengenai masalah etika kedokteran dan masalah hukum perdata maupun pidana,” ungkap Agus Purwadianto.