Home Ekonomi Siapa Untung di Indeks K

Siapa Untung di Indeks K

Pekanbaru, Gatra.com - Pemerintah Provinsi Riau sudah menetapkan harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) pekebun untuk periode 26 Juni 2019-02 Juli 2019.

Harga TBS perkilogram untuk kelapa sawit burumur 10-20 tahun dibanderol Rp1.402,30. Harga ini pada posisi Indeks K 86,23 persen, CPO Rp6.467,33 dan Kernel Rp3.778,65. Dari akumulasi angka-angka ini, harga pembelian TBS kemudian naik Rp24,07 perkilogram dibanding harga penetapan pekan lalu.

Tapi bagi Plt Ketua DPW Apkasindo Riau, Santha Buana Kacaribu, SP, MM, kenaikan harga tadi masih bisa didongkrak menjadi sekitar Rp50. Dengan catatan, indeks K naik menjadi 90 persen.

Indeks K sendiri adalah persentase yang dibayarkan kepada petani kelapa sawit setelah dipotong segala pengeluaran Pabrik Kelapa Sawit (PKS) atas pengolahan TBS.

"Persoalannya sekarang, indeks K ini justru terus melorot dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dulu indeks K masih bisa di angka 90-91. Sekarang di bawah 90. Tahun lalu sempat indeks K di angka 90," kata Santha saat berbincang dengan Gatra.com Rabu (26/6).

Mestinya kata lelaki 36 tahun ini, indeks K itu harus konstan. Sebab indeks K bisa diukur berdasarkan variabel cost yang dikeluarkan oleh masing-masing PKS.

Tapi yang ada justru, indeks K ini hasil laporan masing-masing PKS kepada pemerintah. "Kalau indeks K enggak ditetapkan, lantas, apa fungsi harga tabel yang ditetapkan tim?" Santha bertanya.

Tapi lagi-lagi Santha tidak melulu menyalahkan PKS, khususnya PKS komersial yang jamak tidak punya kebun kelapa sawit sebagai sumber bahan baku.

Sebab apapun ceritanya, PKS adalah ranah bisnis. Tak ada pebisnis yang mau rugi. Itulah makanya PKS kemudian membikin formula subsidi silang untuk mengakomodir TBS siluman yang masuk ke PKS melalui plasma mitra yang kualitasnya berbeda dan tidak memenuhi standar yang ada di Permentan itu. Kasarnya, PKS tutup matalah dengan TBS siluman itu, tapi indeks K diturunkan.

TBS-TBS siluman ini diterima demi memenuhi quota olah PKS hari itu. "Jadi TBS yang kurang bagus juga diterima. TBS ini biasanya dari pengepul. Sebab petani swadaya enggak pernah punya faktur pengantar TBS sendiri. Nah, para pengepul lah yang membeli TBS petani itu," terang Santha.

TBS-TBS yang kurang bagus tentu akan sangat berdampak pada tinggi rendahnya rendemen --- kadar minyak sawit. TBS tak bagus, rendemennya pasti rendah.

"Untuk mensiasati supaya target rendemen tercapai --- misalnya untuk mencapai rendemen 22 persen dari yang ada hanya 21,2 persen --- disubsidi silanglah dari TBS-TBS bagus yang disuplay petani mitra. Alhasil, petani mitra dirugikan. Namun di sisi lain, kalau PKS membatasi TBS masuk, jadi masalah pula," lelaki ini mengurai panjang lebar.

Baca juga: Mengurai Benang Kusut Harga TBS Sawit

Hanya saja kata Santha, target rendemen sudah dihandle oleh tukang grading. Petugas yang mengecek rendemen TBS di hari datangnya TBS ke pabrik. Orang grading pasti bisa menentukan batasan TBS yang boleh diterima. Lagi-lagi supaya target rendemen tadi segera tercapai.

"Nah, itu kan hasil grading PKS. Sementara petani atau pun pengepul enggak punya alat untuk mengecek berapa sebenarnya rendemen TBS yang sedang dia bawa ke PKS. Di sinilah kemudian muncul pertanyaan, berapa sebenarnya rendemen TBS yang dibawa," ujar Santha.

Lalu soal subsidi silang tadi, tidak sepenuhnya pula PKS benar. Sebab menumbalkan TBS bagus milik petani mitra juga tidak baik.

Sebagai pebisnis, sangat panjang sebenarnya akal pengelola PKS untuk mengantisipasi kekurangan target rendemen itu. Selain grading, PKS juga memberlakukan shortage (pengurangan timbangan) TBS yang masuk ke PKS.

Untuk TBS petani mitra, shortage yang dibikin biasanya antara 2-2,5 persen. Lalu untuk pengepul atau peron antara 4-5 persen. Potongan ini tentu potongan dengan TBS kualitas standar.

"Kalau misalnya dalam sehari TBS mitra yang masuk ke PKS 1000 ton, berarti potongan sudah mencapai 20 ton. Kalau angka itu punya pengepul, tentu akan lebih banyak lagi. Nah, hasil potongan ini kan tetap saja masuk ke PKS itu, bukan dibawa pulang oleh pemilik TBS. Jadi, kalau lah mau jujur, hasil potongan tadi bisa dijadikan sebagai variabel untuk menaikkan rendemen maupun indeks K, bukan malah menurunkan indeks K itu sendiri," kata Santha.

Lantas apa yang musti dlakukan supaya indeks K naik dan rendemen terpenuhi? "Kembali saja ke Permentan nomor 1 tahun 2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian TBS pekebun itu.

"PKS musti membangun kemitraan terhadap petani. Kalau petani belum punya kelompok tani, PKS mengadvokasi petani itu untuk membikin kelompok. Kalau sudah bermitra, tentu aturan main juga akan semakin jelas. PKS sudah tahu luasan, tahun tanam, kualitas dan asal-usul TBS yang datang ke PKS nya. Dengan begitu, PKS diuntungkan, petani juga," ujar Santha.

PKS juga musti mengedukasi petani supaya lebih paham perawatan, jadwal panen, hingga hal-hal lain yang muaranya adalah membikin TBS semakin kinclong. "Jadikan kebun petani itu umpama kebun sendiri, biar sama-sama senang dan sama-sama puas. Tapi apapun yang kita sarankan, kalau dasar PKS nya nakal, ya nakal saja," ujar Santha.


Abdul Aziz

 

4705