Jakarta, Gatra.com - Demokrasi pada umumnya lahir akibat situasi darurat sebelumnya, namun ketika rezim demokrasi terwujud kedaruratan justru banyak disalahgunakan oleh negara selaku rezim.
Hal itu merupakan aksioma yang diperbincangkan dalam buku berjudul "Demokrasi dan Kedaruratan" pada Selasa (25/6) di Hall Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta. Buku yang merupakan disertasi dari Agus Sudibyo yang menyoroti filsafat politik dari filsuf Italia Giorgio Agamben.
Agus menyebut dalam penelitian Agamben, rezim demokrasi tidak secara konsekuen menempatkan keadaan darurat sebagai momentum sejarah yang cukup sekali saja terjadi, alih-alih mempraktekkannya secara regular dalam normalitas penyelenggaraan kekuasaan demokratis.
"Rezim demokrasi tidak menempatkan keadaan darurat sebagai momentum yang mengawali tatanan atau beginning, tetapi juga sebagai paradigma yang secara laten menggerakkan tatanan atau hidden matrik," kata Doktor Filsafat lulusan STF Driyarkara ini.
Terlepas dari pesimisme Agamben terhadap demokrasi yang menurut Agus agak berlebihan, ia menyebut pemikiran Agamben tetap sangat relevan dan berharga sebagai titik toiak untuk menyoroti negara demokrasi dewasa ini yang kerepotan untuk melepaskan diri dari kecenderungan klaim keadaan darurat secara berlebihan.
Selain itu, Agus menggarisbawahi bahwa tujuan utama Agamben ialah berusaha agar bagaimana negara dapat menjadi penyelenggara demokrasi yang substantif. Dengan tujuan utama mampu mewujudkan kesejahteraan dan mengayomi kalangan marjinal yang tercecer dan tak pernah diperhatikan yang oleh Agamber disebut sebagai Homo Sacer.
Sementara Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman yang bertindak sebagai pembedah memberikan ragam contoh keadaan darurat yang terjadi secara nasional maupun internasional yang melahirkan sebuah regulasi permanen yang justru dimanfaatkan oleh rezim.
"Konflik politik seperti pecahnya Pakistan dari India, pengungsi kapal Vietnam, genosida Rwanda, pembantaian di Darfur, penindasan di Kosovo dan Timor Leste. Itu contoh kedaruratan, dalam 20 tahun terakhir yang melahirkan intervensi humaniter ke dalam negara," kata Marzuki.
Selain itu, mantan Jaksa Agung Bagir Manan lebih menekankan pembacaan Hak Asasi Manusia dalam perspektif Agamben yang harus menguntungkan pihak yang paling tidak beruntung.
"Bagaimana HAM dipahami, dibaca dalam perspektif Agamben dan penggunaan kondisi darurat dalam konteks hukum, kalau digunakan terpaksa harus menguntungkan yang paling tidak beruntung," tekan Bagir.