Jakarta, Gatra.com - Di tengah anjloknya harga ayam hidup, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Tjahja Widayanti mengeluarkan sepucuk Surat Edaran No.158/PDN/SD/06 yang mengimbau pembagian ayam hidup/karkas secara gratis menggunakan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pada 17 Juni lalu.
Atas surat itulah, membuat Asosiasi Peternak Yogyakarta (APAYO) dan Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (PINSAR) menjadi berang. Bahkan, mereka akan melakukan aksi dengan membagi 5.000 ekor ayam di beberapa titik di Kota Yogyakarta pada Rabu (25/6). Aksi tersebut sebagai bentuk protes atas surat edaran yang kurang tepat disaat harga ayam sedang terpuruk.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Rusli Abdullah mengkritisi bahwa seharusnya pemerintah yang mendorong serapan daging ayam dari para peternak. Bukan malah membuat surat imbauan seperti itu.
Rusli menganggap kebijakan tersebut kurang tepat. "Pertama, imbauan sifatnya nggak tetap. Kedua, harusnya pemerintah membeli daging peternak sesuai HPP (harga pokok produksi) agar balik modal, kemudian diberikan kepada pihak yang tidak mampu," ungkapnya.
Selain itu, menurut Rusli, pemerintah sebaiknya mendorong perusahaan makanan dan minuman menyerap produk ayam peternak.
Namun, Ia mengakui upaya pemerintah dalam menyerap daging ayam akan terkendala anggaran. "Dalam anggaran pemerintah ada tahun anggaran. Kalau tiba-tiba dilaksanakan sekarang nggak bisa," tuturnya.
Karena itu, Rusli menyarankan jalan tengahnya adalah dengan menggunakan dana operasional pemerintah daerah untuk menyerap daging dari para peternak.
Sebelumnya, menurut data dari APAYO, harga ayam hidup dari peternak sekitar Rp7.000-Rp 8.000 per kilogram sedangkan harga pokok produksi (HPP) sebesar Rp 18.700/kg. Dengan harga seperti itu membuat para perternak terus merugi.