Jakarta, Gatra.com - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengaku hanya mengulang keteranganya sebelumnya ketika menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, pada Selasa (25/6).
"Sama seperti keterangan saya sebelum-sebelumnya, sebagai warga negara kita datang juga," kata Yasonna usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (25/6).
Yasonna dipanggil dan menjalani pemeriksaan dalam kapasitas sebagai anggota Komisi II DPR periode 2009-2014.
Yasonna tampak meninggalkan Gedung KPK sekitar pukul 14.00 WIB. Terhitung ia menjalani pemeriksaan selama empat jam sejak datang di KPK sekitar pukul 10.00 WIB.
Diketahui sebelumnya Yasonna memang sudah sering menjalani pemeriksaan di KPK terkait kasus yang sama. Tercatat Yasonna pernah menjadi saksi untuk Irvanto Hendra Pambudi, Oka Masagung, Andi Agustinus dan Anang Sugiana Sudihardjo, dalam kasus pengadaan KTP-El.
Kali ini Yasonna bersaksi untuk tersangka kedelapan dalam persekongkolan korupsi megaproyek paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-El).
"Sebagai saksi untuk Markus Nari itu saja. Kan sama-sama anggota komisi II (waktu itu)," terang Yasonna.
Menurutnya dalam pemeriksaan oleh penyidik antirasuah kali ini, ditanyakan perihal pertemuan dan sejumlah rapat Komisi II DPR terkait pembahasan pengadaan proyek KTP-El.
"Ikut pembahasan, ada beberapa risalah rapat, gitu saja yang kami cek," imbuhnya.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Markus Nari sebagai tersangka kedelapan dalam korupsi proyek pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun anggaran 2011-2012.
KPK menduga Markus melakukan perbuatan melawan hukum bersama-sama sejumlah pihak terkait pengadaan proyek KTP-El. Perbuatannya dinilai merugikan keuangan negara sejumlah Rp2,3 triliun.
Pada tahun 2012, saat dilakukan proses pembahasan anggaran untuk perpanjangan proyek KTP-el sekitar Rp1,4 triliun, Markus diduga meminta uang kepada pejabat Kemendagri, Irman, sejumlah Rp5 miliar dan menerima sekitar Rp4 miliar dari realisasi tersebut.
Irman sudah berstatus sebagai terpidana dalam kasus ini.
KPK menyangka Markus Nari melanggar Pasal 3 atau 2 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.