Jakarta, Gatra.com - Staf Pembela Hukum dan HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy menjelaskan, dalam laporan yang diterima dari pos pengaduan yang didirikan KontraS, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan LBH Pers, ada dugaan salah tangkap dalam kerusuhan 21-22 Mei lalu.
Andi menjelaskan, seorang pengemudi ojek online dari Slipi diduga menjadi korban salah tangkap oleh pihak kepolisian. Padahal, saat itu ia disebut hanya ingin melihat aksi kerusuhan.
"Jadi setelah selesai mengantar ordernya, dia datang buat lihat-lihat [lokasi kerusuhan]. Kebetulan ada gas air mata dia juga enggak lakukan penumpukan dan sebagainya. Dia lari masuk gang buntu kemudian ada beberapa yang diduga lakukan kerusuhan ditangkaplah di sana," ujar Andi saat ditemui di Gedung Komnas HAM, Latuharhary, Senin (24/6).
Setelah ditangkap, ia diduga mendapat kekerasan dari aparat. Andi menuturkan, korban mengalami dua kali penyiksaan. Pertama, ketika ditangkap. Selanjutnya, saat pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dugaan penyiksaan berupa pukulan langsung maupun dengan alat.
"Khusus yang ojek online ini dia mengaku dipukul dan dikejar. Kedua saat BAP di Polres Jakbar dia mengaku dipikul sama penggaris. Jadi untuk mengejar pengakuan," tutur Andi.
Andi menerangkan, tindakan tersebut diambil untuk mendapatkan pengakuan bahwa korban terlibat aksi kerusuhan tersebut. Metode yang dipakai memiliki dua tujuan seputar pengakuan dan penghukuman.
Menurutnya, cara tersebut salah di mata hukum. Sedikitnya ada dua alasan, metode yang dipakai polisi salah. Pertama, kata Andi, tindakan itu melanggar konvenan antipenyiksaan. Yang kedua, tindakan tersebut merupakan penuduhan.
"Begini, seseorang di hadapan hukum itu sama, jadi seseorang tidak boleh dituduh melakukan pidana sebelum pengadilan memvonis. Jadi dalam bentuk apapun penyiksaan tidak diperbolehkan," tutup Andi.
Sebelumnya, KontraS, LBH dan LBH Pers memberikan laporan pengaduan ke Komnas HAM terkait pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh polisi dalam kerusuhan 21-22 Mei silam. Laporan tersebut berjumlah 8 kasus yang semuanya berasal dari pos pengaduan yang dibuka oleh tiga lembaga itu.