Jakarta, Gatra.com - Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata, "Janganlah (engkau) berlaku iri kecuali terhadap dua hal: (terhadap) seseorang yang Allah berikan padanya harta lalu dia pergunakan harta tersebut di jalan kebaikan dan seseorang yang Allah berikan hikmah (pengetahuan) lalu dia memutus (perkara) dengan bijaksana dan mengajarkannya (kepada orang lain)".
Dalam beberapa hari ke depan, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus perkara sengketa Pemilu Presiden (Pilpres). Kepada sembilan orang hakim MK itu, jutaan mata memandang, jutaan hati berdebar, jutaan nasib rakyat dipertaruhkan. Meskipun pada pemilu lalu, kemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla juga ditentukan oleh palu hakim MK, namun suasana persaingan di tengah masyarakat tidak terpolarisasi seperti saat ini.
Kerusuhan 21-22 Mei lalu yang menyebabkan sedikitnya sembilan orang meregang nyawa akibat aksi yang bermula di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ini, cukup untuk menggambarkan betapa terjalnya persaingan Pilpres 2019.
Di tulisan singkat ini, saya ingin membahas tentang Ultra Petitum MK. Setidaknya ada dua hal menarik. Pertama: Apa sih Ultra Petitum? Sebelum saya jelaskan, ultra petitum, ada baiknya saya jelaskan kata "petitum" terlebih dahulu. Petitum berisi tuntutan apa saja yang dimintakan oleh penggugat (dalam hal sidang di MK disebut ‘pemohon’) kepada hakim untuk dikabulkan.
Selain tuntutan utama, penggugat/pemohon juga biasanya menambahkan dengan permintaan pengganti. Dalam persidangan perdata biasa, permintaan pengganti bisa berupa membayar denda atau menuntut agar putusan hakim dapat dieksekusi walaupun akan ada upaya perlawanan di kemudian hari yang disebut dengan uitvoerbar bij voorrad.
Bila kita baca dokumen permohonan 02, petitum yang diajukan terdapat lima belas poin. Secara singkat, dapat disimpulkan dalam tiga cluster. Yaitu: (1) Pemohon meminta agar majelis hakim MK menerima seluruh permohonan. Jika dikabulkan, maka pasangan 02 dilantik sebagai presiden-wakil presiden. (2) Pemohon meminta majelis mendiskualifikasi pasangan 01 karena terbukti melanggar syarat pencalonan. Maka, pasangan 02 dilantik sebagai presiden-wakil presiden. Atau (3) Menerima permohonan sebagian dengan menyelenggarakan pemilu ulang di beberapa provinsi.
Dokumen jawaban Termohon (KPU) tentu saja menyertakan petitum yang pada pokoknya menolak permohonan 02. Jika putusan hakim keluar dari petitum, maka putusan itu disebut sebagai ultra-petitum. Lalu kemana arah putusan MK. Akankah putusannya bersifat ultra-petitum?
Sebelum menjawab itu, mari sejenak kita lihat sejarah MK dan beberapa putusannya. Kita dapati, MK kini menjadi lembaga yang sangat dihormati meskipun telah pernah ternodai di kasus Akil Mochtar. Sejak dibentuk, dan hanya dalam waktu singkat, MK sangat populer. Banyak pengamat hukum bahkan mengatakan popularitasnya lebih baik dibandingkan dengan Mahkamah Agung (MA).
Di masa awal pekerjaan terberat MK tidak hanya terbatas untuk membangun lembaga, tetapi juga untuk membangun kesadaran publik bahwa lembaga baru negara telah hadir dan melaksanakan kewenangan sesuai amanat Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945.
Dan ujian terberat bagi MK pada periode awal adalah pengajuan permohonan Pasal 60 Ayat (g) UU Pemilu Legislatif (Pileg) yang mencantumkan calon legislatif tidak boleh mantan anggota Partai Komunis terlarang, termasuk organisasi massanya, baik mereka yang terlibat secara langsung ataupun tidak.
Akhirnya, MK memutus bahwa Pasal 60 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sebab hal itu merupakan pengingkaran hak-hak konstitusional warga negara dan pelanggaran atas Undang-Undang Dasar 945.
Setelah lima tahun berlalu, MK tidak berpikir lagi tentang eksistensi atau keberadaannya. Tantangan terbesar bagaimana mempertahankan kepercayaan masyarakat terutama setelah otoritas MK ditambahkan untuk membaca, memeriksa dan memutus perkara sengketa pilkada yang semula berada di bawah kewenangan MA, lalu beralih ke MK.
Seperti bumerang, sengketa pilkada ternyata berjumlah besar. Dan para hakim MK terbelah perhatiannnya antara penangan sengketa pilkada dan peninjauan Undang-Undang. Kasus suap Akil Mochtar, mantan ketua MK, adalah bukti dari konsen yang “terbelah” itu. Lihatlah bagaimana seorang Ketua MK sampai menerbitkan surat ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang meminta agar menunda pengambilan sumpah Bupat Banyuasin terpilih sebab perkaranya tengah ditangani.
Kedua: Oleh karena itu pula, salah satu persyaratan hakim MK adalah “negarawan”, suatu syarat untuk memastikan kemampuan calon bersikap sangat bijak. (Pasal 33 UU No. 48 Tahun 2009). Tentu saja, ukuran kata "negarawan" bukan hal yang mudah. Misalnya, apakah bila seorang telah pernah terafiliasi dengan partai politik berarti dia telah kehilangan sikap negarawannya, atau bagaimana? Dan, dalam sistem hukum asing, hakim MK disebut sebagai “justice” dan bukan “judge”, semata untuk menunjukan kematangan mereka yang mulia itu.
Sayangnya, MK justru telah pernah menguji undang-undang yang berkaitan dengan keberadaannya dan mengeluarkan vonis yang membatalkan UU nomor 23 Tahun 2003 tentang MK. Beberapa ketentuan yang telah dibatalkan, antara lain, adalah pembatasan pada putusan MK yang tidak membolehkan ultra petitum.
MK juga telah menganulir kewenangan komisioner Komisi Yudisial (KY), komisi yang bertugas mengawasi para hakim dengan mencabut beberapa pasal dari UU No 22 tahun 2004 tentang KY. Seyogyanya, para komisioner KY berwenang untuk mengawasi hakim, baik dalam lingkaran MA ataupun MK. Tapi, MK membatalkan ketentuan itu, maka KY tak bisa mengawasi para hakim MK karenanya.
Dengan beberapa fakta di atas, kita tentu tak bisa menyimpulkan bahwa para hakim MK belum mencapai level negarawan. Tetapi, ketika MK membatalkan beberapa pasal dari UU MK dan UU KY, para hakim MK mungkin lupa pada kaedah hukum Romawi, “Nemo Judex in propria indoneus”. Artinya, seseorang tidak ada yang bisa menjadi hakim yang baik untuk kasus yang melibatkan dirinya sendiri.
Nah, dalam beberapa hari ke depan, MK akan membuat putusan yang akan menentukan nasib bangsa. Melihat begitu beratnya proses persidangan dan rumitnya pembuktian, saya kira para hakim MK sangat berat memutus perkara ini.
Sungguh, demi melihat wajah dan senyum Yang Mulia Dr. Anwar Usman, Ketua MK, saya terbayangkan wajah sahabat Nabi Abu Musa al-Asyari, hakim di Iraq yang menangis saat membaca surat dari umar bin Khattab dari Madinah. Kata Umar, "Sesungguhnya membuat putusan adalah kewajiban yang sudah dibebankan untukmu, (maka berlaku adilah engkau)...".
Semoga.
Batu-Malang, 24 Juni 2019.
Penulis:
Inayatullah Hasyim
Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor.