Gatra.com - Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menilai tidak ada hal yang mendesak agar partainya segera melangsungkan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Jika ada pihak yang ingin segera digelar Munaslub pada Oktober, maka itu merupakan upaya manuver guna mengincar jatah kursi menteri pada kabinet pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin.
Menurutnya, seluruh pihak seharusnya tinggal mematuhi jadwal Munaslub yang baru, yakni pada Desember 2019 ini.
"Kalau ingin bulan Oktober, berarti ada pihak-pihak yang kesengsem memiliki peran politik. Di bulan Oktober hubungannya dengan presiden, urusan kabinet," ujar Dedi via sambungan telepon, Senin (24/6).
Ia menilai dengan adanya pihak yang mendesak segera digelar Munaslub tersebut bukan murni urusan kepartaian. Namun, menunjukkan berasal dari urusan elite dan orang per orang.
Dedi menyampaikan Munaslub merupakan agenda pembicaraan partai Golkar untuk menghadapi pertarungan politik 2024, yang tak perlu tergesa-gesa digelar. Fokus utama saat ini yaitu menunggu hasil sidang Mahkamah Konstitusi terkait Pilpres dan Pileg 2019.
Terlebih, partainya juga sedang menunggu perumusan dan penetapan kabinet yang merupakan hak prerogatif presiden. Termasuk, memilih tokoh Golkar yang memiliki kapasitas dan jabatan untuk menjadi menteri.
"Karena bicaranya 5 tahun ke depan tidak mesti tergesa-gesa bulan Oktober," katanya.
Berbicara terkait Munaslub, ia menuturkan yang berhak membicarakan hal tersebut hanya Dewan Pembina, DPD Golkar tingkat I dan II dan Ketua Umum. Artinya, sudah menjadi urusan dapur yang tidak boleh dikoar-koarkan oleh pihak yang tidak berkepentingan.
"Hanya yang punya saham. Jadi kalau pihak dari luar Golkar ngomong soal Golkar, mohon maaf ini urusan rumah tangga kami," katanya.
Menanggapi tudingan Ketua Umum Airlangga Hartarto gagal mempertahankan 91 kursi Golkar di DPR RI sebagai alasan perlunya Munaslub, Dedi menilai alasan tersebut tidak melihat kondisi riil Golkar menjelang Pileg 2019.
"Golkar 4 kali munas, Pak Airlangga jadi ketua umum ketika Golkar dalam kondisi sangat terpuruk," ungkapnya.
Kata Dedi, saat partainya mendapat citra negatif akibat kasus Setya Novanto, Idrus Marham dan sejumlah kasus hukum lainnya, justru Airlangga mampu memimpin Golkar dan meraih 85 kursi. Padahal, berbagai lembaga survei memprediksi kursi Golkar di bawah dua digit.
Dedi mengaku tahu persis hal tersebut dirasakan saat mengkampanyekan Golkar di lapangan. Kendati konsolidasi terbilang pendek namun Golkar masih bisa menunjukan hasil di Pileg 2019.
"Sangat berat, tidak ada electoral effect dari Pilpres, opini negatif, 85 kursi itu sudah baik," pungkasnya.