Pekanbaru, Gatra.com - Sudah lebih dari sembilan tahun ribuan warga petani kelapa sawit di Kecamatan Limau Kapas, Kubu dan Kubu Babussalam Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) Provinsi Riau, terus di bawah bayang-bayang tengkulak.
Sebab selama itu pula, belum ada satupun Pabrik Kelapa Sawit di sana yang menampung Tandan Buah Segar (TBS) milik petani. Tengkulak mengangkut TBS petani itu ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang ada di kawasan Duri Kabupaten Bengkalis atau ke kawasan Merbau di Rantau Parapat Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Sudah bisa ditebak, lantaran dijual ke tengkulak dan diangkut ke tempat yang sangat jauh, harga TBS di petani menjadi murah.
Ketua Dewan Pimpinan Unit (DPU), Suparjan, mengatakan, saat ini harga TBS di tingkat petani hanya Rp500 perkilogram. Melorot Rp100 dibanding dua pekan sebelumnya.
"Ongkos panen Rp200 perkilogram, sisanya Rp300. Inilah yang dipakai petani menyambung hidup," ujarnya kepada Gatra.com Minggu (23/6).
Di Sungai Daun Kecamatan Pasir Limau Kapas lebih parah lagi. "Harga di sana hanya Rp450 perkilogram," kata Suparjan.
Lelaki yang juga Ketua Koperasi Sawita Palma ini cerita, luas kebun kelapa sawit di tiga kecamatan tadi mencapai 65 ribu hektar.
"Kubu dan Kubu Babussalam sekitar 53.520 hektar. Yang tergabung di Sawita Palma 45.150 hektar, 125 kelompok tani," rinci Suparjan
"Lalu di Pasir Limau Kapas yang sudah produksi ada sekitar 8000 hektar dan yang belum produksi 10 ribu hektar. Kemudian di Sungai Daun luas kebun kelapa sawitnya mencapai 17 ribu hektar. Yang produksi 12 ribu hektar," tambahnya.
Suparjan mengaku tak habis pikir kenapa harga semelorot itu meski dia tahu rentang kendali antara kebun petani dan PKS teramat jauh. "Kalau soal rendemen --- kadar minyak dalam TBS --- kami hanya selisih satu angka dibanding TBS yang ada di luar. Kami 19, di luar 20," ujarnya.
Sebenarnya bukan tidak ada upaya para petani di tiga kecamatan tadi untuk membangun PKS di daerah mereka. Anas Ma'mun saat masih menjabat Bupati Rohil dan kemudian menjadi Gubernur Riau, sudah mengurusi para petani ini untuk segera membangun PKS.
Sayang, saat izin masih terganjal di Kementerian Kehutanan, Anas keburu berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Kalau Pak Anas masih ada, saya yakin PKS kami sudah berdiri," sesal Suparjan.
Berharap kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) kata Suparjan, aturan mainnya rumit dan cenderung tidak mendapat respon.
Capek berburu kesempatan punya PKS, Suparjan dan kawan-kawan sempat membikin pabrik mini Crude Palm Oil (CPO). Tapi mentok dimodal.
"Belakangan kami dapat investor, grupnya Wilmar. Kami disuruh datang ke Jakarta untuk penandatanganan nota kesepahaman. Rencananya kami akan membangun pabrik minyak goreng berkapasitas 30 perjam meski pada prakteknya bisa 45 ton perjam," cerita Suparjan.
"Adapun pola kerja samanya kelak, 60-40. Mudah-mudahan saja ini segera terwujud," Suparjan berharap.
Abdul Aziz