Jakarta, Gatra.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebut adanya 29 Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus pengantin pesanan. Jumlah korban tersebut berasal dari pengaduan para korban sepanjang 2016-2019.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Maarif mengatakan sebanyak 13 perempuan berasal dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan 16 perempuan berasal dari Jawa Barat. Menurut Bobi temuan ini menjadi indikasi adanya TPPO karena adanya tiga pelanggaran baik dari proses, cara, dan tujuan eksploitasi kepada para korban.
"Korban diiming-imingi uang berlimpah jika mau menikah dengan pria Cina. Tapi setelah di Cina mereka rata-rata diperlakukan tidak manusiawi. Sampai di Cina harus bekerja dengan jam kerja tinggi, bahkan kerap menerima kekerasan fisik," ungkap Bobi.
Ia mengatakan adanya permintaan pengantin pesanan disebabkan biaya menikah di Cina yang mahal. "Perkawinan di Cina membutuhkan biaya sekitar Rp2 miliar, di Indonesia laki-laki Cina bisa mendapat pengantinnya hanya dengan biaya sekitar Rp400 juta. Rata-rata korban yang direkrut itu dari desa, yang sedang dalam kesulitan hidup," tambahnya. Bobi mengatakan sejauh ini sudah ada 3 korban yang berhasil dipulangkan ke Indonesia, sementara 26 korban lainnya masih berada di Cina.
Pengacara publik LBH Jakarta Oky Wiratama menjelaskan kasus ini sudah dilaporkan ke kepolisian. Namun hingga saat ini baru satu orang pelaku yang tertangkap.
"Satu orang atas nama Cece Vivi sudah ditangani oleh Polda Jawa Barat, tapi masih banyak pelaku lainnya," kata Oky. Karena itu LBH Jakarta bersama SBMI mendesak kepolisian segera membongkar kasus TPPO ini.
"Kami mendesak Bareskrim Mabes Polri, Polda Kalimantan Barat, Polda Jawa Barat untuk segera membongkar sindikat perekrut yang terorganisir dalam kasus TPPO pengantin pesanan antarnegara ini dan memproses dan menyelesaikan kasus dengan menerapkan UU No 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Perlindungan anak. Kami juga mendesak MA dan Kejaksaan Agung menjatuhkan sanksi pidana sesuai UU yang berlaku," jelasnya.