Cilacap, Gatra.com – Sepuluh tahun yang lalu, Rawa Bojongrongga di Desa Bojongsari, Kecamatan Kedungreja, Cilacap, Jawa Tengah, hanya dikenal sebagai tempat para pemancing menghabiskan hari. Eceng gondok menutup hampir seluruh permukaannya.
Konon ceritanya, rawa ini merupakan bekas aliran Sungai Citanduy. Namun, Sungai Citanduy berubah aliran dan meninggalkan Rawa Bojongrongga menjadi kali mati.
Layaknya, sungai-sungai yang berdekatan dengan muara, orang-orang tua bercerita Bojongrongga merupakan habitat buaya. Bahkan, hingga kini ada mitos bahwa rawa ini ‘ditunggui’ oleh buaya putih.
Namun, secara perlahan, semuanya berubah. Rawa yang dulunya sepi dan menyeramkan, kini diubah menjadi destinasi wisata air, sekaligus kuliner. Sejak 2009, rawa itu mulai dilirik untuk dijadikan destinasi wisata. Lokasinya memang strategis, berimpitan dengan jalur alternatif antara Cilacap menuju Ciamis dan Kota Banjar, Jawa Barat.
Rawa tersebut telah diubah menjadi danau nan elok. Di pinggiran rawa, berderet-deret bangunan-banguan yang terbuat dari bambu. Bentuknya unik, mirip rumah Gadang, dengan atap terbuat dari daun nipah dan ijuk.
Dilihat dari kejauhan, bangunan yang terbuat dari bambu, gedek dan atap daun nipah itu laksana perkampungan warga Kampung Laut, di Laguna Segara Anakan, Cilacap, tempo dulu. Di antara rumah makan itu, tegak berdiri pepohonan yang menjadi penanda, dulunya rawa ini benar-benar asri.
“Kalau hari libur atau akhir pekan, tempat ini selalu ramai. Tempat parkir selalu penuh sehingga banyak kendaraan yang diparkir di bahu jalan,” ucap Kepala Desa Bojongsari, Sururudin, beberapa waktu lalu.
Surur menerangkan, sejak semula para pengelola ingin membuat Rawa Bojongrongga menjadi pusat wisata kuliner. Kini, telah berdiri 11 rumah makan di pinggir rawa. "Menu andalannya adalah beragam olahan ikan tawar. Ada ikan mas, patin, gurameh, lele. Mujaer juga ada,” ucapnya.
Satu makanan khas yang barangkali akan menjadi klangenan tempat ini adalah plencing kangkung alias sayur oseng kangkung. Kangkung dipotong sesuai panjang ruas dan dimasak setengah matang. Bumbunya perpaduan manis asin dan pedas sedang. “Ayam juga ada. Bebek juga bisa digoreng atau dibakar,” katanya.
Tamu di rumah makan ini kebanyakan para pelintas antarprovinsi. Ada pula yang sengaja datang untuk berlibur bersama keluarga. Pasalnya, selain rumah makan, kini Danau Bojongrongga juga telah menjadi destinasi wisata air.
Perahu disiapkan untuk wisatawan yang hendak bersampan di rawa seluas sekitar tiga hektare ini. Perahu bebek atau lumba-lumba juga disediakan untuk anak-anak dan remaja. Terbaru, wahana khusus anak-anak, sehingga anak balita pun bisa riang bermain.
Surur mengungkapkan, semakin majunya pariwisata Danau Bojongrongga berefek positif bagi masyarakat setempat. Puluhan remaja bekerja di belasan rumah makan tersebut. Sebab itu, pemerintah desa pun mendorong pengembangan kawasan wisata Bojongrongga.
Desa pun mendapat manfaatnya. Dari pengelolaan Rawa Bojongrongga, desa memperoleh pendapatan asli desa (PAD). Ke depan, ada rencana untuk mengelola Danau Bojongrongga dengan badan usaha milik desa (BUMDes). Namun, saat ini, pengelolaan masih terpusat pada Pokdakan Bojongsari. “Rencananya menjadi salah satu unit usaha BUMDes di sektor wisata,” ujarnya.