Home Gaya Hidup On Broadway: Potret Islam yang Multietnis di Kota New York

On Broadway: Potret Islam yang Multietnis di Kota New York

Jakarta, Gatra.com – Sebuah ruang tanah di Kota New York, Amerika Serikat (AS) disulap menjadi masjid yang digunakan untuk ibadah Salat Jumat. Jamaah pun muai berdatangan, mulai dari yang berkulit hitam dari Afrika, tampang ‘bule’ Eropa, berwajah ‘khas’ timur tengah, berwajah India-Pakistan, hingga berkulit sawo matang khas Melayu. 

Begitu pula para marbot ‘masjid’ yang mempersiapkan salat Jumat.

Sama seperti di Tanah Air, jamaah ada yang tertidur, bersandar tembok, dan mengikuti khutbah Jumat dengan khusyuk. Setelah ibadah Jumat selesai, para marbot kembali membereskan terpal sebagai alas salat. Kemudian, petugas pengelola gedung mengembalikan ruangan kembali ke fungsinya sebagai arena bermain pingpong.

Adegan tersebut merupakan cuplikan film On Broadway yang disutradarai Antropolog bernama Aryo Danusiri. Dengan menggunakan metode “Etnografi Indrawi”, Ia menggambarkan umat Islam di New York. Meskipun sudah rilis sejak tahun 2011, relevansinya seakan belum pudar.

“Saya tertarik bagaimana ruang jadi karakter utama untuk bercerita,” ujarnya dalam Madani Film Screening : On Broadway & The Flaneurs #3 di @america, Pacific Place, Jakarta, Rabu (21/6). 

Ia mengaku terinspirasi dari sebuah buku yang mengklaim masjid bukan hal baru di Amerika Serikat, termasuk New York.

Aryo menjelaskan suasana ‘masjid’ yang berada di Manhattan, New York tersebut menggambarkan umat Islam yang multietnis. Suasana ini berbeda dengan potret lainnya di suburban (pinggiran) Kota New York seperti Queens, Brooklin, dan Bronx dimana masjid berdiri menurut etnisitas yang sama.

“Begitu musim gugur, mereka nggak mungkin salat di pinggir jalan. Mereka harus mencari tempat. Makanya mereka pergi ke basement (Asian Center). Bagaimana ruang tersebut menginisiasi imajinasi bagaimana muslim Amerika terbentuk,” terangnya.

Peneliti Kajian Media Universitas Paramadina, Putut Widjanarko mengungkapkan adanya evolusi ruang reproduksi keagamaan dalam film tersebut. 

“Dalam kesementaraan (fungsi ruang menjadi masjid), Islam sebagai ummatan wahidan (umat yang satu) terjadi,” ujarnya.

Namun, Putut merasakan pengalaman yang berbeda di beberapa masjid lain di New York yang jamaahnya homogen yang berasal dari etnis atau asal negara yang sama. 

Ia mencontohkan Masjid Al Hikmah yang didirikan oleh orang Indonesia berdekatan dengan Masjid Bosnia dan Masjid Pakistan.

Putut berpendapat Islam di AS sebenarnya berkembang, namun terfragmentasi. 

“Religiusitas menjadi wadah ekspresi bersama [bagi para imigran],” sambung Produsir Film Mizan Production tersebut.

285

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR