Jakarta, Gatra.com - Pagu indikatif anggaran bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terus turun tiap tahun dan untuk tahun anggaran 2020 ditetapkan sebesar Rp450 miliar. Menanggapi hal itu, Disaster Management Institute Indonesia (DMII) mempertanyakan komitmen pemerintah dalam hal mitigasi bencana.
"Miris, kita berharap BNPB perannya malah didorong, kalaupun ada bahasa anggaran dititipkan ke kementerian lain, kita lihat apa diberi kewenangan lebih mengkoordinir, kalau enggak jadi pertanyaan besar, serius ga sih?” ujar Direktur Eksekutif DMII Wahyu Novyan saat ditemui Gatra.com di kantornya di TB Simatupang, Jakarta Selatan, Jumat (21/6).
Pada tahun 2017 anggaran Rp1,8 triliun, tahun 2018 turun Rp740 miliar, 2019 turun lagi Rp614 miliar, dan semakin turun di tahun anggaran 2020 sebesar Rp450 miliar.
Wahyu mengatakan DMII mendorong agar BNPB tidak hanya mengerjakan hal teknis tapi juga strategis sesuai perannya yakni dalam hal komando, koordinasi dan pelaksana. Sementara dengan anggaran terbatas peran tersebut akan sulit terlaksana.
“Yang kosong dalam penanggulangan bencana tentang gagasan mitigasi, kami di DMII sejak awal tahun mengangkat indonesia darurat mitigasi bencana. Diantaranya karena mayoritas bangunan kita tidak siap menghadapi bencana, mestinya bisa dilakukan langkah mitigasi. Kalau kami mendorong mitigasi bencana berjalan, BNPB bilang tidak ada pos anggaran, di daerah BPBD juga sama keluhannya tidak ada pos anggaran,” tutur Wahyu.
Menurut Wahyu ada kontradiksi antara pernyataan pemerintah terkait mitigasi atau fase pra-bencana dengan realitas di lapangan. “Antara iya serius atau tidak serius, bandingkan dengan Jepang serius benar-benar dalam mitigasi bencana kebijakan ada, anggaran ada, impelementasi ada,” kata Wahyu.
Wahyu memaparkan, mitigasi bencana terbagi dalam aspek struktural dan kultural. Menurutnya, kedua aspek tersebut masih lemah di Indonesia. Di mana di aspek struktural mitigasi hanya berhenti di tataran regulasi tanpa praktek riil di lapangan. Sementara di aspek kultural menurutnya masyarakat masih mengabaikan kesiapsiagaan dan pengurangan resiko bencana.
“Ada regulasi tapi dalam praktik tidak serius misalkan bagaimana implementasi bangunan menahan kemampuan gempa sekian, dan saat bencana terjadi kita kehilangan banyak nyawa dan kerugian,” katanya.
Ketika anggaran berkurang, Wahyu menyebut akan ada kegiatan mitigasi yang tadinya tersedia otomatis berkurang, “Sebelumnya saya sudah pernah lihat pagunya ada anggaran riset terbatas, menginisiasi kelompok siaga bencana, kalau berkurang itu nanti akan hilang,” ucap Wahyu.
Sementara terkait dana siap pakai atau dana on call untuk bencana sebesar Rp4 triliun, Wahyu mengatakan dana itu tidak akan bisa digunakan untuk mitigasi sebab alokasinya hanya untuk tanggap darurat dan jika dikeluarkan untuk selain itu bisa terkena delik.
“Ibarat orang kena stadium empat baru keluar dananya, kan sudah mau mati, pas hearing dengan DPR kita sampaikan mestinya bukan dana on call, tapi dana kesiapsiagaan dan mitigasi bencana," kata Wahyu.