Para menteri keuangan dari 20 negara maju (G20) sepakat untuk menyusun aturan perpajakan baru. Mengarah pada beban pajak lebih besar untuk raksasa teknologi global.
Facebook, Google, Amazon, dan perusahaan teknologi besar lainnya menghadapi kritik terkait pajak. Mereka menyiasati pajak dengan membukukan keuntungan di negara-negara yang mengutip pajak rendah. Dengan cerdik, perusahaan-perusahaan itu memanfaatkan lubang-lubang aturan pajak di masing-masing negara, sehingga bisa memangkas pajak yang seharusnya mereka bayar. Praktik seperti itu dinilai tidak adil oleh banyak pihak.
Perusahaan-perusahaan digital mengembangkan kegiatan bisnisnya lintas batas negara. Negara yang bersangkutan belum tentu memiliki kemampuan untuk menarik pajak perusahaan dari keuntungan yang mereka dapatkan. Misalnya iklan daring yang ditujukan untuk warga sebuah negara dan dibeli oleh warga negara tersebut, tetapi negara tersebut tidak bisa menarik pajak dari iklan itu.
Perusahaan teknologi multinasional itu mengklaim telah mengikuti aturan pajak. Mereka menyalurkan penjualan melalui negara-negara seperti Irlandia dan Luksemburg, yang menerapkan pajak ringan.
Nah, dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Fukuoka, Jepang, Sabtu, 8 Juni lalu, mulai dibahas aturan baru terkait hal tersebut. Aturan itu mengarah pada beban pajak yang lebih tinggi untuk perusahaan multinasional besar.
Road map pajak baru itu akan mengubah prinsip dasar perpajakan internasional yang sebelumnya dikaitkan dengan kehadiran fisik, sekarang pada nilai-nilai ekonomi yang terkait aliran data dan ide. “Saat ini, proposal masih sedikit kabur, tetapi secara bertahap mulai terbentuk,” kata Menteri Keuangan Jepang Taro Aso, yang memimpin pertemuan G20 kepada CNBC.
G20 mewacanakan “dua pilar” yang dapat memberikan pukulan ganda kepada beberapa perusahaan.
Pilar pertama adalah membagi hak menarik pajak perusahaan-perusahaan di mana barang atau jasa dijual. Bahkan di saat perusahaan teknologi itu tidak hadir secara fisik. Jika perusahaan itu tetap bisa menemukan celah untuk membayar pajak di negara-negara bebas pajak atau pajak rendah, maka negara-negara yang bersangkutan bisa menetapkan pajak minimal global. Besarnya akan disepakati di bawah pilar kedua.
“Saya melihat tingkat kesediaan yang tinggi untuk bekerja sama dalam masalah ini,” kata Pierre Moscovici, Komisaris Uni Eropa untuk Urusan Ekonomi kepada AFP.
“Kami benar-benar percaya bahwa raksasa teknologi, yang bukan hanya GAFA, harus membayar bagian pajak yang adil di mana mereka menciptakan nilai dan keuntungan,” ujar Moscovici. GAFA adalah akronim yang biasa digunakan merujuk ke Google, Amazon, Facebook dan Apple ketika berbicara tentang pengaruh perusahaan teknologi besar.
Inggris dan Perancis tercatat sebagai pengusul proposal yang paling vokal. Dengan aturan baru itu, akan lebih sulit bagi perusahaan multinasional untuk mengalihkan keuntungan ke yurisdiksi pajak rendah.
“Kami memiliki model ekonomi baru berdasarkan aktivitas digital dan penggunaan data,” ucap Menteri Keuangan Prancis, Bruno Le Maire. “Untuk saat ini tidak ada pajak yang adil untuk model ekonomi baru ini,” ia menambahkan.
Sikap ini menempatkan kedua negara berhadapan dengan Amerika Serikat. Negara adidaya itu menyatakan keprihatinan bahwa perusahaan teknologi mereka mendapat perlakuan tidak adil dan menjadi sasaran dalam upaya untuk memperbarui aturan pajak perusahaan global. “Pemerintah Amerika Serikat memiliki keprihatinan sangat signifikan dengan dua pajak yang diusulkan Prancis dan Inggris,” kata Steven Mnuchin, menteri keuangan Amerika Serikat.
G20 sedang mencari berbagai cara untuk mengenakan pajak pada perusahaan digital. Satu ide, yaitu menghitung laba “nonrutin” yang dibuat oleh perusahaan digital. Pendekatan lain, dengan menggunakan perhitungan laba yang ada, kemudian merealokasi sebagian dari mereka ke berbagai negara. Kemungkinan ketiga, yakni menentukan “laba awal” untuk pemasaran dan distribusi di negara mana pun.
Rosyid