Jakarta, Gatra.com - Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) menuntut Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI untuk membongkar bangunan yang ada di Pulau Reklamasi. Terbitnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk 932 bangunan menunjukan lemahnya Gubernur Anies Baswedan dalam menghentikan reklamasi secara keseluruhan.
Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang juga tergabung dalam KSTJ, Marthin Hadiwinata mengatakan, penerbitan IMB telah mengabaikan kepentingan nelayan, masyarakat pesisir dan lingkungan. Selain itu, ia juga menyoroti soal kejelasan dasar hukum atas penerbitan IMB tersebut
"Kami konsisten untuk menuntut dibongkarnya bangunan di pulau reklamasi yang sudah terbangun. Denda yang dibayarkan oleh pengembang menjadi cara memutihkan pelanggaran tata ruang," kata Marthin di Jakarta, Jumat (21/6).
Menurut Marthin, Pemprov DKI seharusnya menentukan peruntukan Pulau Reklamasi sebelum menerbitkan IMB. Sebab, kata dia, penerbitan IMB harus jelas dengan kesesuaian fungsi bangunan dan rencana tata ruang.
"Bangunan gedung yang telah berdiri dan tidak memiliki IMB yang jelas harus diberikan sanksi administratif berupa pembongkaran sesuai dengan ketentuan aturan hukum yang berlaku," ujarnya.
Sebelumnya, Anies mengatakan bahwa IMB di Pulau Reklamasi diterbitkan untuk memanfaatkan lahan yang telah terbentuk menjadi daratan. Ia berdalih bahwa persoalan mengenai IMB dan Reklamasi merupakan dua hal berbeda.
"Dikeluarkan atau tidak IMB, kegiatan reklamasi telah dihentikan. Semua kebijakan yang kita buat sesuai janji kami, yaitu menghentikan reklamasi dan lahan yang sudah terjadi dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Itulah janji kami," kata Anies.
Anies menyebutkan dirinya berpedoman pada Peraturan Gubernur (Pergub) No. 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota (PRK) sebagai legalisasi dalam menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Pulau Maju. Peraturan tersebut telah ditetapkan di masa Gubernur DKI sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Anies sendiri mengaku bahwa aturan tentang tata ruang kota lazimnya dibuat dalam bentuk Perda. Dia mempertanyakan pemerintahan Ahok yang justru menetapkannya ke dalam Pergub.
"Mengapa waktu itu tidak menunggu Perda RDTR (Rencana Detil Tata Ruang) selesai tapi Gubernur malah membuat Pergub? Lazimnya tata kota ya diatur dalam Perda bukan Pergub. Itulah kelaziman dan prosedur yang tertib ya begitu. Memang menunggu selesainya Perda itu perlu waktu lebih lama," ucapnya.