Bandung, Gatra.com - Berbagai elemen masyarakat di Jawa Barat mengusulkan peradaban bangsa yang dapat menerima perbedaan. Terlebih, perbedaan yang menjurus kepada paham radikal yang menghambat produktivitas bangsa dan negara.
"Jawa Barat mengusulkan peradaban bangsa, yang dapat menerima perbedaan. Karena kita negara dengan masyarakat yang heterogen bukan homogen," ujar Tokoh Muda Jawa Barat, Abdy Yuhana, dalam diskusi 'Legasi Untuk Bangsa' di Bandung, Kamis (20/6)
Diskusi itu juga dihadiri oleh berbagai pihak, baik itu pemerintah hingga tokoh masyarakat.
Menurut Abdy, ada yang lebih penting dibandingkan sibuk mencari perbedaan, yaitu soal semangat persatuan dan kesatuan. Apalagi, masyarakat Indoneisa dikenal menghormati perbedaan dengan berlandaskan pada Pancasila. Itu terbukti dalam sejarah.
"Berdasarkan sejarah, Indonesia pernah mengalami konflik ideologi agama dan kebangsaan. Tapi karena sadar hal itu tidak produktif, maka akhirnya semua bersatu kembali," katanya.
Abdy menjabarkan berdasarkan sejumlah riset, paham radikal kini marak terjadi pada generasi milenial. Misalnya saja di kalangan mahasiswa. Banyak dari mereka yang menginginkan homogenitas, serta tidak mengendaki adanya perbedaan.
"Jika kita ingin maju maka perlu diupayakan persatuan dan kesatuan, karena akan melahirkan produktivitas. Di sini dibutuhkan peran dari semua elemen, baik masyarakat dan pemerintah," ujarnya.
Abdy menyayangkan jika integrasi bangsa dirusak oleh sejumlah agenda politik.
Dewan Pakar PA alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Nasional, Andi Talman Nitidisastro, menilai perlu ada upaya untuk membumikan kembali ideologi tersebut di tengah masyarakat, terutama ke kalangan pemuda.
"Kalau memungkinkan tokoh masyarakat, budayawan, tokoh agama dan kepercayaan iman, disertifikasi pemahaman Pancasila. Sehingga dapat mengimplementasikannya di tengah masyarakat," kata Andi.