Washington DC, Gatra.com - Sebuah teks samurai yang baru diterjemahkan berjudul "Dua Belas Aturan Berpedang" mengungkapkan rahasia aliran pedang yang menguasai sebuah teknik yang tampaknya memberikan kekuatan gaib.
Berawal dari abad ke-17, teks ini berisi pengetahuan yang diturunkan dari seorang samurai bernama Ito Ittsai (lahir sekitar tahun 1560) yang telah bertarung dan memenangkan 33 duel di Jepang.
Teks yang kemudian menjadi ajaran "aliran satu potongan" tersebut menggambarkan aturan untuk mengalahkan lawan serta dua doa magis untuk meningkatkan semangat dan pikiran sang samurai, menurut Eric Shahan, orang yang menerjemahkan teks tersebut. Shahan adalah penerjemah Jepang yang berspesialisasi dalam menerjemahkan teks-teks seni bela diri Jepang. Dia juga memegang San Dan (sabuk hitam tingkat tiga) dalam Kobudo, sebuah seni bela diri Jepang.
"Pada masa itu (abad ke-16), mungkin bagi seorang yang melihat praktik dari aliran ini, tampaknya orang yang menggunakannya telah menguasai teknik kekuatan gaib," ungkap Shahan.
Hal ini karena di dalam teks tersebut disebutkan bahwa orang yang ingin mengerti aliran ini harus sanggup melihat pergerakan musuh tanpa menggunakan penglihatan, namun dengan hati. Shaham menafsirkan ini dengan pemahaman yang cukup berbeda dengan apa yang ditulis dalam teks tersebut.
"Maksud teks ini adalah kita akan bereaksi lebih cepat terhadap hal-hal yang bergerak jika mengandalkan visi periferal (penglihatan pinggiran mata). Karena jika kita mengandalkan pupil untuk fokus ke pedang yang dipegang lawan, kita akan terkecoh," ucapnya.
Shahan juga menyebutkan jika kita tidak memfokuskan pandangan kita ke satu bagian lawan, kita akan memiliki pandangan yang lebih luas, dengan demikian kita juga bisa memberikan respon yang lebih cepat dibandingkan dengan hanya melihat satu bagian tubuh saja.
Shahan mengatakan bahwa seorang samurai yang memahami aliran pedang "satu potongan" ini memerlukan pelatihan selama seumur hidupnya dalam seni berpedang sehingga kemudian teknik itu baru bisa tertanam ke dalam tubuh mereka.
"Mereka membutuhkan ketabahan mental untuk memungkinkan tubuh mereka merespons tanpa perlu menebak-nebak lagi," tambah Shahan.