Jakarta, Gatra.com - Maqdir Ismail, kuasa hukum tersangka Sjamsul Nursalim dalam kasus korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) dana Bantuan Likuiditas Bank Indonensia (BLBI) memastikan bahwa kliennya masih merupakan Warga Negara Indonesia (WNI).
"Sepanjang yang saya tahu beliau Warga Negara Indonesia," ujar Maqdir saat ditemui di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Rabu (19/6).
Sementara itu, kuasa hukum dari pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) lainnya, Otto Hasibuan, memastikan bahwa Sjamsul Nursalim dan Istrinya, Itjih Nursalim berada di Singapura. Ia juga menyatakan bahwa kliennya tidak akan melarikan diri.
"Sjamsul Nursalim dia jelas ada alamatnya di Singapura dan KPK juga tahu alamatnya jelas. Kalau kurang jelas kita juga bisa beritahu dia tidak ke mana-kemana," kata Otto Hasibuan di lokasi yang sama.
Kembali ke Maqdir. Menurutnya, keberadaan Sjamsul di Singapura tidak perlu dipermasalahkan. Plihan dia untuk menetap di sana karena alasan kesehatan. Sejak tahun 2001, dia pergi berobat ke Negara Kota Singa itu, namun diketahui tidak kembali hingga saat ini.
"Beliau itu pengen pulang tetapi yang jadi problem adalah apakah kepulangan itu akan baik atau tidak terhadap kesehatan," ujar Maqdir.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka berdasarkan pengembangan dari fakta persidangan perkara korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang membelit Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Menurut KPK, Sjamsul selaku pemegang saham pengendali BDNI telah melakukan misrepresentasi soal piutang petambak Dipasena. Sjamsul memasukkan piutang petani tambak sejumlah Rp4,8 triliun dalam kondisi lancar. Nyatanya, piutang itu macet.
Financial Due Diligence (FDD) yang menemukan utang petambak tersebut dalam keadaan macet, BPPN kemudian menyurati Sjamsul untuk menambah jaminan aset sebesar Rp4,8 triliun. Namun Sjamsul menolak dengan alasan kredit petambak termasuk kredit usaha kecil (KUK). Karena itu, hakim menilai penolakan itu justru bertentangan dengan Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
Meski Sjamsul menolak, namun pada April 2004 malah terjadi penandatangan Akta Perjanjian Penyelesaian oleh Syafruddin dengan istri Sjamsul, Itjih Nursalim yang menyatakan pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam MSAA. Lalu diterbitkanlah SKL-22 untuk Sjamsul Nursalim.
KPK menilai perbuatan Sjamsul tersebut telah merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasangan suami istri ini pun disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.