Jakarta, Gatra.com - Pengacara Otto Hasibuan dan Maqdir Ismail mengakui bukan sebagai kuasa hukum perkara pidana dengan tersangka pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.
"Kalaupun ada jalur perkara pidana, kami sendiri kan belum mendapat kuasa hukum itu," ujar Otto Hasibuan dalam konferensi pers di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Rabu (19/6).
Sejalan dengan Otto, Maqdir pun bicara demikian. Ia berujar, hingga saat ini belum diberikan kuasa oleh Sjamsul sebagai pengacara untuk kasus pidana yang dihadapi.
"Sampai sekarang kita belum ditunjuk jadi kuasa hukum. Sehingga kalau ada pihak KPK mencoba hubungi Kami pasti kita enggak bisa membantu mereka," ujar Maqdir saat ditemui usai acara tersebut.
Seperti diketahui, Sjamsul melayangkan gugatan perdata dengan nomor 44/Pdt.g/2019/PN Tgr di Pengadilan Negeri Tangerang.
Gugatan diajukan Sjamsul Nursalim terkait audit investigatif BPK. Mengenai kerugian negara dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Auditor BPK Nyoman Wara merupakan saksi ahli dalam sidang perkara korupsi penerbitan SKL BLBI, menjadi tergugat I. Kemudian BPK sendiri sebagai lembaga menjadi tergugat II.
Otto menuding audit yang dilakukan pada 2017 bertentangan dengan Undang Undang dan peraturan BPK mengenai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Menurutnya audit wajib harus dilaksanakan secara independen, objektif dan profesional.
Lebih lanjut Otto mengatakan, melalui gugatan ini, pihaknya menuntut agar audit BPK pada 2017 yang menjadi landasan putusan hakim atas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Dalam kasus itu, Syafruddin sudah diputus bersalah dan menerima hukuman 15 tahun penjara.
Dalam kasus pidananya, ditemukan fakta persidangan untuk Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Sudah dibuktikan bahwa Sjamsul Nursalim selaku pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) telah melakukan misrepresentasi.
Sjamsul memasukan piutang petani tambak Rp4,8 triliun, sedangkan utang para petani tambak tersebut ternyata piutang macet.
Financial Due Diligence (FDD) yang menemukan utang petambak tersebut dalam keadaan macet, kemudian BPPN kemudian menyurati Sjamsul untuk menambah jaminan aset sebesar Rp4,8 Triliun. Namun Sjamsul menolak dengan alasan kredit petambak termasuk kredit usaha kecil (KUK). Karena itu, hakim menilai penolakan itu justru bertentangan dengan Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
Namun, pada April 2004, malah terjadi penandatangan Akta Perjanjian Penyelesaian oleh Syafruddin dengan istri Sjamsul, Itjih Nursalim. Kata yang menyatakan pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA. Lalu diterbitkanlah Surat Keterangan Lunas SKL-22 untuk Sjamsul Nursalim.
KPK menduga pasangan suami istri ini melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP.