Istanbul, Gatra.com - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menggelar doa bersama dan shalat ghaib di Istanbul untuk Mantan Presiden Mesir Mohamed Mursi, yang meninggal dalam ruang sidang di Kairo pada Senin lalu (17/6).
Otoritas Agama Turki, Diyanet, menyerukan agar doa bersama diadakan pada Selasa (19/6) di 81 provinsi negara.
Di Masjid Fatih Istanbul, Erdogan menyebut Mursi sebagai saksi [martir] dan menyalahkan Rezim As Sisi sebagai tiran Mesir. Dilansir dari Aljazeera, Erdogan menegaskan tidak percaya Mursi meninggal karena sebab alamiah.
"Saya tidak percaya bahwa ini adalah kematian yang wajar," kata Erdogan, yang merupakan sekutu utama Mursi saat berkuasa.
Presiden Turki juga mengecam Pemerintah Mesir karena memakamkan Mursi secara tertutup. Hanya dihadiri sejumlah kecil keluarga dan orang kepercayaan.
"Mereka begitu pengecut, tidak menyerahkan jenazah ke pihak keluarga," kata Erdogan.
Mursi merupakan petinggi kelompok Ikhwanul Muslimin yang memenangkan pemilihan Presiden Mesir 2012 secara demokratis. Setahun setelah adanya pemberontakan [yang menggulingkan pemimpin lama, Husni Mubarak].
Periode jabatan sebagai presiden sangat singkat karena terjadi penggulingan kekuasaan. Setelah kudeta militer [Juli 2013], ia menjadi tahanan penjara. Saat itu, banyak anggota dan pendukung Ikhwanul Muslimin melarikan diri ke Turki sejak pemberlakuan pelarangan seluruh kegiatan di Mesir pada 2013.
"Ada oposisi dan jurnalis Arab yang tinggal di Turki. Masyarakat memberikan dukungan bagi perjuangan Mursi," kata Sinem Koseoglu dari Al Jazeera, yang melaporkan dari Masjid Fatih di Istanbul.
Sementara itu, di Ankara, sekitar 500 orang berdoa di jalan utama. Mereka menghentikan arus lalu lintas di luar Kedutaan Mesir. Para demonstran di Ankara meneriakkan: "Pembunuh Sisi, martir Morsi" dan mengangkat spanduk bertuliskan "Putschists (Pengkudeta) akan dikalahkan".
"Kami akan mengambil kembali negara kami dari kudeta militer. Hari itu, kami akan pergi ke makam Muhammad Mursi. Berdoa untuk berterima kasih padanya karena telah tinggal di penjara selama enam tahun untuk membebaskan negara tiran kami," ujar Mumin Ashraf (25) warga negara Mesir yang belajar di Ankara seperti dikutip kantor berita Reuters.