Cina ditengarai akan menggunakan rare earth metals sebagai senjata baru dalam perang dagang dengan Amerika Serikat. Permintaan industri akan logam tersebut begitu tinggi, sedangkan Cina terus mengurangi ekspornya.
Cina punya senjata baru dalam perang dagang dengan Amerika Serikat. Sebagai pemasok rare earth metals (logam tanah jarang—LTJ) terbesar di dunia, Cina sedang mengurangi pengiriman logam dengan spesifikasi sangat khusus itu dalam lima bulan terakhir.
Surat kabar berbahasa Inggris yang berbasis di Hong Kong, South China Morning Post, menyebut ekspor LTJ turun menjadi 3.640 ton pada Mei 2019. Penurunan mencapai 16% dari angka ekspor bulan sebelumnya. Secara umum, menurut data Administrasi Umum Kepabeanan Cina, ekspor logam jenis ini turun sebesar 7,2% menjadi 19.265 ton dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Di sisi lain, AS adalah importir terbesar LTJ. AS tercatat mengimpor 59% material ini dengan US$92 juta, yang sumbernya berasal dari Cina.
LTJ terdiri dari 17 elemen pada tabel periodik. Logam ini terbilang jarang karena muncul sebagai senyawa oksida. Logam ini bisa disuling dan diekstraksi untuk kebutuhan komersial. Sayangnya, logam ini jarang ditemukan dalam konsentrasi yang cukup besar untuk dapat diekstraksi demi memenuhi kebutuhan tersebut.
Cina selama ini memasok 80% LTJ yang disalurkan ke industri elektronik, peralatan tinggi, sampai peralatan militer. Contoh peralatan militer yang membutuhkan LTJ adalah sistem rudal, satelit, dan sistem komunikasi.
“Logam tanah jarang sangat penting untuk aplikasi pertahanan, dan tidak ada alternatif yang mudah untuk menggantikan mereka, jadi kami benar-benar membutuhkannya. Hal ini akan menjadi pukulan besar bagi pangkalan industri pertahanan jika kita terputus dari tanah jarang,” kata Andrew Hunter, Direktur Kelompok Inisiatif Industri-Pertahanan di Pusat Studi Strategis dan Internasional, serta mantan pejabat senior Pentagon, dikutip dari Foreign Policy.
Logam yang digunakan dalam magnet, lampu bertenaga tinggi, dan batang kendali nuklir, sekarang ini dinilai oleh Asian Metal mencapai harga tertinggi sejak Juni 2015. Harganya, yaitu 2.025 yuan atau setara US$292,98 per kilogram.
Harga itu disebutkan mengalami kenaikan hampir 14% pada 20 Mei 2019, hari ketika Presiden Cina Xi Jinping mengunjungi sebuah pabrik LTJ. Peristiwa itu kemudian memicu spekulasi bahwa bahan-bahan itu akan menjadi senjata berikutnya dalam perang dagang Cina dengan AS.
Menurut Direktur Adamas Intelligence (sebuah konsultan periset LTJ), Ryan Castilloux,
logam ini merupakan bahan ideal untuk persenjataan. Oleh karena itu, saat permintaan tinggi dan harganya menjadi sangat kompetitif, kebutuhan industri menjadi sensitif terhadap harga itu. “Logam tanah jarang bertanggung jawab atas lebih dari 90% nilai pasar permintaan setiap tahun,” kata Castilloux.
LTJ juga digunakan dalam produksi peralatan modern seperti laptop, smartphone, sel surya, sampai mobil listrik yang menggabungkan energi surya dan angin atau mobil hibrida. Selain itu, LTJ juga bisa menghilangkan kotoran dalam pembuatan baja, sehingga dapat digunakan di lampu pijar atau lampu LED (light-emitting diode).
Wajar jika ketika tensi ketegangan akibat perang dagang semakin meningkat, banyak analis yang memprediksi kebijakan Cina untuk memanfaatkan LTJ sebagai “senjata” di perang dagang kali ini. Sebelumnya, Cina sudah menggunakan LTJ sebagai “senjata” dengan membatasi ekspor ke Jepang di tahun 2010. Mengutip South China Morning Post, peristiwa ini terjadi usai kapal-kapal Cina bertabrakan dengan kapal patroli Jepang. Cina kemudian memberikan kuota, lisensi, dan pajak pada LTJ karena penggunaan material ini di seluruh dunia dalam energi baru terbarukan dan teknologi pertahanan meningkat pada tahun yang sama.
Namun kali ini, jika Beijing kembali menggunakan modus itu dalam perang dagang dengan AS, sejumlah pengamat menyebut risikonya akan menjadi bumerang bagi Cina. “Cina harus tetap bersikap terbuka terhadap perang perdagangan, dengan memperlakukan perjanjian perdagangan dan bersahabat dengan perusahaan asing. Bahkan jika perjanjian perdagangan tidak dapat dicapai di masa depan, Cina harus mereformasi pasarnya agar adil dan transparan dalam sistem perdagangan global,” ujar Wakil Ketua Shanghai Development Research Foundation, Qiao Yide.
Aulia Putri Pandamsari