Jakarta, Gatra.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil tujuh orang akademisi terkait dengan seleksi pemilihan rektor di sejumlah Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia, Senin (17/6).
Dari tujuh orang saksi itu, tiga orang dari UIN Sunan Ampel Surabaya yaitu Masdar Hilmy (Rektor) Akh Muzakki (Guru Besar dan Dekan FISIP) dan Ali Mudlofir (Guru Besar).
Tiga saksi lainnya dari Institut Agama Islam negeri (IAIN) Pontianak yaitu Syarif (Rektor) Wakil Rektor, Hermansyah (Wakil Rektor) dan Wajidi Sayadi (Dosen). Satu lagi adalah Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Warul Walidin.
Tujuh orang dari kalangan akademisi itu akn diperiksa sebagai saksi dalam untuk tersangka mantan Ketua Umum (Ketum) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muchammad Romahurmuziy alias Rommy.
"Saksi-saksi diperiksa untuk tersangka RMY (Romahurmuziy)," kata Juru Bicara KPK , Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Senin (17/6).
KPK enggan mengungkapkan lebih rinci hubungan kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) dengan tersangka Rommy dengan pemanggilan sejumlah calon rektor UIN ini.
"KPK mulai melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah calon Rektor UIN sebagai saksi hari ini," tambah Febri.
Sedangkan dalam kasus Rommy, Anggota Komisi XI itu ditetapkan menjadi tersangka bersama dengan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi dan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenag Provinsi Jawa Timur (Jatim) Haris Hasanuddin.
Rommy menerima suap sejumlah Rp300 juta dari Haris dan Muafaq. Uang haram itu diberikan sebagai 'pelicin' untuk meloloskan mereka dalam seleksi pejabat tinggi di Kemenag .
Atas perbuatannya KPK menyangka Rommy dan kawan-kawan selaku penerima suap diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan terhadap Muhammad Muafaq Wirahadi yang diduga selaku pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.