Sleman, Gatra.com - Penangkaran anggrek Balelawang di lereng Gunung Merapi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, merawat 326 anggrek murni Nusantara sesuai habitatnya. Tak semenarik anggrek hibrid, tapi diburu kolektor anggrek dunia.
Penangkaran anggrek itu milik Anton Tri Raharjo, 45 tahun, yang merawat 326 spesies sejak 6-7 tahun silam. “Anggrek Aceh sampai Papua ada. Indonesia punya lebih dari 5000 dari 9000-an spesies anggrek di dunia,” ujar Anton, saat ditemui Gatra.com, di penangkaran anggreknya, Desa Karanggeneng, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Jumat (14/6).
Namun anggrek spesies berbeda dengan anggrek yang selama ini diketahui awam dan beredar di pasaran. Yang disebut terakhir ini anggrek hibrid atau persilangan dengan bunga berukuran besar dan warna-warni.
“Tidak semua pecinta anggrek suka dan mengerti anggrek spesies. Di pasaran kebanyakan anggrek hibrid impor, didesain 2-3 kali berbunga lalu mati,” katanya.
Toh kebanyakan nursery atau perawat anggrek saat ini bergeser memelihara anggrek hibrid tersebut. “Perputaran uangnya lebih cepat daripada anggrek spesies. Saya masih istikomah spesies karena sebagian di habitat habis.”
Waktu berbuah dan berbunga anggrek spesies pun tak bisa ditentukan. Saat Gatra bertandang ke kebun Balelawang, hanya terlihat anggrek Dendrodium anosmun dari Papua yang berbunga dengan warna putih dengan aksen ungu.
Selebihnya, pohon-pohon anggrek spesies itu terlihat seperti tanaman biasa bahkan sekilas dianggap benalu. “Tapi anggrek bukan parasit, dia makan dari air dan udara. Pemberantasan hama pun secara teknis pakai tangan, tidak pakai pestisida.”
Baca Juga: Wisata ke Taman Nasional Gunung Merapi, Waspadai Pohon Tua
Kecintaan Anton pada anggrek bermula dari hobi sejak SMA. Sejak itu, sedikit demi sedikit dia mengumpulkan berbagai spesies anggrek Indonesia secara swadaya. “Saya juga ndak ngerti kenapa keterusan suka anggrek sampai sekarang,” kata pedagang hasil tani ini.
Dia tak mendatangi langsung habitat anggrek tapi megandalkan jaringan nursery di berbagai kota. Anggrek yang diminati kemudian dikirim melalui pos. Lantaran adaptif, anggrek-anggrek dibudidaya di kebun sekitar 3000 meter persegi di kaki Merapi ini. “Sengaja dihidupliarkan seperti habitat aslinya.”
Anton menjelaskan, kawasan Indonesia timur, khususnya Papua merupakan sebaran terbanyak anggrek spesies di Indonesia. Namun saat ini jumlahnya terus berkurang karena dieksploitasi secara komersial atau terdampak pembalakan liar dan kebakaran hutan.
Untuk itu, Anton pun mengembangkan sejumlah anggrek spesies yang terbilang langka. Contohnya Dendrodium cochliodes warna merah dari kawasan Asmat, Papua.
“Anggrek Papua cantik sekali. Spesies ini mendekati habis. Asmat jadi benteng terakhir anggrek Papua. Kalau bobol, anggrek Papua habis,” ujarnya.
Baca Juga: Kisah Pengamat Gunung Merapi, Kerap Tak Pulang Meski Lebaran
Saking langkanya, anggrek tersebut diburu kolektor. Seorang kolektor asal Jakarta menawar anggrek tersebut, tapi Anton menolak karena telah merawatnya selama 4 tahun.
“Saya akhirnya dipaksa. Orangnya ke sini sambil bawa alat potong. Saya sudah bilang jangan, tetap dipotong dan saya ditinggali uang,” kenang Anton sambil tertawa.
Indonesia surganya anggrek. Namun, menurut Anton, orang Indonesia justru kurang maksimal memperhatikan anggrek. “Orang indonesia sering tidak tahu anggreknya sendiri, bahkan beberapa anggrek Indonesia bukan lagi milik kita.”
Sejumlah spesies anggrek temuan orang Indonesia dibeli patennya dan dikembankan oleh negeri jiran, Singapura. Contohnya Dendrodium sutikno dan Dendrodium bengawansolo.
“Di sana budidayanya kejam. Kita beli minimal Rp6 juta sudah infertil. Tak bisa diperbanyak,” kata Anton.
Baca Juga: Mekar Saat Lebaran, Taman Bunga di Pesisir Bantul Siap Sambut Wisatawan
Untuk itu, saat ini, Anton konsisten mengenalkan anggrek spesies Nusantara. Anton terus menambah koleksinya, bahkan menyebut Balelawang sebagai penangkaran anggrek spesies Nusantara dengan koleksi paling banyak dan mengalahkan kebun Raya Bogor.
Balelawang menyuplai indukan anggrek ke Kebun Raya Purwodadi dan Boyolali, Jawa Tengah. Anton pun memajang koleksinya di akun media sosial Twitter dan Instagram.
Dari media sosial, sejumlah tamu, khususnya kolektor dan maniak anggrek, termasuk dari luar negeri seperti Venezuela, datang. Anton menjual bibit Rp50 ribu-250 ribu tergantung jenis dan langkanya. Satu batang anggrek paling mahal pernah ia jual Rp7,5 juta.
Boleh jadi koleksi anggrek langka Anton bertambah. Sebab ia bilang memelihara 20-an spesies yang belum diketahui identitasnya.
Ia mendaftarkan spesies tersebut pusat register anggrek di Inggris. Namun mereka pun membuat sayembara karena tak mengetahui jenis anggrek tersebut. Kalaupun diberi nama sendiri, prosesnya panjang dan harus membayar paten.
“Sejak 6-7 bulan lalu disayembarakan belum ketemu. Kalau dibeli enggak boleh, gelut (kelahi) saja. Istilahnya pecinta anggrek garis keras,” seloroh Anton sambil terbahak.