Hong Kong, Gatra.com - Krisis politik Hong Kong memasuki pekan kedua pada Senin ini (17/6) seiring meningkatnya gelombang protes atas nasib pemimpin setempat, Carrie Lam. Banyak kalangan menentang perampungan RUU (Rancangan Undang-Undang) Ekstradisi yang dinilai sarat kontroversi.
Politisi oposisi mengumandangkan aksi demonstrasi agar Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam mengundurkan diri dan mendesak pencabutan RUU tersebut. Lam berulang kali telah menyampaikan permohonan maaf terkait hal tersebut, namun aksi protes tetap terjadi. Konon RUU Ekstradisi tersebut memungkinkan tersangka kasus dikirim ke Cina daratan untuk diadili pertama kali.
Penyelenggara aksi, seperti dilansir Reuters, menyebutkan hampir 2 juta demonstran turun ke jalan pada Ahad lalu (16/6) untuk menuntut pengunduran diri Lam.
Hal ini menjadi tantangan serius terhadap hubungan China-Hong Kong sejak pelepasan wilayah Hong Kong dari Inggris sejak 22 tahun silam.
"Pemerintahannya tidak bisa menjadi pemerintahan yang efektif, dan akan memiliki banyak, banyak kesulitan untuk dijalankan," kata legislator senior Partai Demokrat James To kepada penyiar RTHK.
Ia optimis kursi Carrie Lam akan goyang dengan banyaknya tuntutan dari masyarakat. "Saya percaya pemerintah rakyat pusat akan menerima pengunduran dirinya," ujarnya.
Penangguhan penundaan RUU oleh Lam ternyata juga mendapat respon dari masyarakat setempat. Pekerja sosial Brian Chau, yang turut hadir dalam aksi demonstrasi menuntut lebih dari sekedar permintaan maaf. "Kami tidak dapat menerima permintaan maafnya, itu tidak menghilangkan semua ancaman kami," kata Chau.
Dalam aksi tersebut, beberapa demonstran terlihat membersihkan sisa sampah yang berserakan, sementara orator lain menyanyikan Hallelujah, lagu rohani sebagai simbol protes terhadap Lam.