Jakarta, Gatra.com - Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar petani tanaman pangan turun dari 104,03 pada April 2019 menjadi 103,46 pada Mei 2019. Nilai tukar petani merupakan indeks harga yang diterima petani, dihitung dari penjualan komoditas yang dihasilkan dibagi dengan indeks harga yang dibayarkan.
Masih lewat BPS, tren penurunan sudah terlihat sejak Januari 2019. Pada Januari, harga gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG) di tingkat petani masing-masing sebesar Rp. 5.453/kg dan Rp. 5.903 /kg. Namun pada bulan Mei, harga GKP dan GKG masing-masing Rp. 4.445/kg dan Rp. 5.295/kg.
Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir berpendapat, jatuhnya harga gabah menyebabkan nilai tukar petani tanaman pangan turun. “Harga jatuh berarti pendapatan petani turun. Jelas itu, otomatis. Nilai tukarnya turun,” jelas Winarno saat dihubungi Gatra.com, Minggu (16/6).
Jatuhnya nilai tukar petani tanaman karena tidak adanya perlindungan dari petani pangan. Padahal, Inpres No 5 Tahun 2015 (Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras) masih diberlakukan hingga sekarang.
Dalam Inpres, pemerintah menetapkan harga beli GKP di tingkat petani sebesar Rp3.700/kg dan Rp4.600/kg GKG di tingkat penggilingan dengan fleksibilitas harga 10%. Sedangkan biaya produksi tanaman padi sekitar Rp4.200/kg-Rp4.300/kg. Menurut Winarno, harga acuan gabah seharusnya mengikuti inflasi.
“Lima tahun saya sudah lihat (rata-rata) inflasi 3,3%, sehingga dari Rp3.700/kg (harga acuan Inpres) menjadi Rp. 4.300/kg (GKP). Untuk GKG harga ideal seharusnya Rp5.400/kg," terang dia.
Rendahnya harga gabah petani merupakan imbas langsung dari minimnya penyerapan gabah oleh Perum Bulog. Jika dulu Bulog mampu menyerap 10% gabah, saat ini tingga; 1-2% saja. Penyebabnya, kata Winarno, adalah bantuan pangan non-tunai (BPNT) yang menggantikan suplai raskin atau rastra.
"Jadinya dikasih uang (elektronik), sehingga bulog tugasnya nggak ada. Beras Bulog 2 juta ton nggak tersalurkan. Sekarang, semua diserahkan ke pasar bebas,” tuturnya.
Selain itu, Ia juga mengungkapkan adanya peningkatan biaya produksi akibat pemopaan air selama musim kemarau. “Sementara, harga masih tertekan rendah. Saya masih belum tahu arah kebijakannya,” tuturnya.
Winarno menerangkan selama ini petani sudah mendapat bantuan dari Kementerian Pertanian (Kementan) berupa pupuk, alat dan mesin (alsin), dan benih. Namun, bantuan tersebut masih belum mencukupi. “Kalau satu kelompok tani satu mesin, harus ada 542.000 mesin. Sementara baru terbagi 180.000 mesin,” ungkapnya.
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani tanaman pangan, Ia mendorong Bulog untuk meningkatkan serapan gabah dan ditetapkannya standar harga yang layak. “Ada solusi semuanya, tinggal keseriusan pemerintah aja,” tutupnya.