Jakarta, Gatra.com - Direktur Sekolah Konstitusi Indonesia, Hermawanto, mengingatkan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak boleh "gelap" atau gagal mengungkap dugaan pelanggaran HAM dalam kericuhan aksi 21-22 Mei di Bawaslu hingga Tanah Abang, Jakarta.
"Saya perlu ingatkan Komnas HAM jangan gagal lagi atas peristiwa kemanusiaan yang tak kunjung terungkap dalam kinerjanya," kata Hermawanto dalam keterangan tertulis, Jumat (14/6).
Hermawanto mengingatkan demikian karena Komnas HAM dinilai belum juga berhasil mengungkap meningalnya ratusan KPPS dalam pemilu serentak lalu. Kasus tersebut merupakan peristiwa kemanusiaan yang seharusnya diungkap. Namun hingga saat ini, belum ada titik terang alias masih gelap.
"Begitu juga kasus Novel, hingga saat ini tidak terungkap siapa pelakunya sejak wajah Novel Baswedan disiram air keras oleh orang tak dikenal seusai menjalankan salat subuh di masjid dekat kediamannya pada 11 April 2017," ujarnya.
Padahal, lanjut Hermawanto, pada 21 Desember 2018, Komnas HAM meminta Presiden untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Menurutnya, upaya Komnas HAM gagal total (Gatot) dan tidak ada tindak lanjut untuk membongkar kasus ini. Bahkan nyaris tidak ada hal-hal yang terus dilakukan.
"Catatan-catatan kinerja Komnas HAM dalam mengungkap peristiwa kemanusiaan itu gelap entah sampai kapan," katanya.
Maka jika Komnas HAM mengalami hambatan secara teknis dalam pengungkapannya, kata Hermawanto, alangkah baiknya mengungkapkannya kepada publik, sehingga semua orang tahu di negeri ini, siapa yang tidak akomodatif atas proses penegakan hukum hak asasi manusia.
"Atau kembalikan saja kewenangan kelembagaan Komnas Ham ke DPR RI jika keberadaannya tidak efektif dan tidak didukung pemerintah dengan semua aparatnya untuk menegakkan HAM di Indonesia," ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Hermawanto mengapresiasi langkah Polri melalui Tim Pencari Fakta Internal Polri yang dipimpin oleh Irwasum hendak menggandeng Komnas HAM untuk mengungkap peristiwa dugaan pelanggaran HAM dan dalang kerusuhan dalam aksi 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu hingga merembet ke Tanah Abang.
"Saya mengapresiasi langkah Kapolri ataupun Polri secara kelembagaan, secara internal untuk melakukan langkah terbaik," katanya.
Namun demikian, lanjut Hermawanto, apapun yang dilakukan oleh Polri akan menimbulkan kecurigaan publik "ketidaknetralan" dan kepentingan "melindungi korps" jauh akan dikedepankan dibanding mengungkap fakta kebenarannya.
"Maka Penolakan Komnas HAM atas ajakan untuk bergabung dalam tim pencari fakta Polri hemat saya patut diapresiasi, sebagai sikap kelembagaan yang independen," katanya.
Penoakan tersebut menurutnya juga untuk menghindari adanya konflik kepentingan yang lebih mengemuka dibanding mengungkap fakta kebenaran atas peristiwa, pelaku, dan penanggungjawab rusuh 21-22 Mei.