Jakarta, Gatra.com - Kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail, menilai penetapan kliennya dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencederai perjanjian pemerintah dengan warga negaranya.
"KPK telah mencederai komitmen pemerintah yang sah dan berkekuatan hukum dalam pemberian pembebasan dan pelepasan (Release and Discharge/R&D) kepada para obligor BLBI," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (12/6).
Menurut Maqdir, perjanjian yang telah diteken antara pemerintah dan kliennya adalah ?Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan kliennya telah memenuhi seluruh kewajibannya.
Sjamsul meneken MSAA pada 21 September 1998 mengikuti permintaan pemerintah yang tengah berupaya mengatasi kesulitan dalam memulihkan ekonomi akibat krisis.
Setelah meneken MSAA dan memenuhi kewajibannya, Sjamsul mendapatkan R&D pada 25 Mei 1999. Dokumen negara itu kemudian dipertegas dalam akta Letter of Statement yang dibuat dihadapan Notaris Merryana Suryana. Pemerintah menyatakan melepaskan Sjamsul dan afiliasinya dari segala tuntutan hukum karena telah memenuhi kewajibannya.
"Berdasarkan prinsip hukum yang tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata, suatu perjanjian bersifat mengikat kedua belah pihak yang membuatnya, selayaknya undang-undang," katanya.
Menurut Maqdir, KPK tidak bisa mengabaikan perjanjian yang dibuat pemerintah, karena institusi tersebut adalah bagian dari pemerintah, sebagaimana ditegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 36/PUU-XV/2017 tanggal 3 Februari 2018.
"KPK harus menghormati seluruh perjanjian yang sudah dibuat oleh Pemerintah secara sah dan dilindungi undang-undang maupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)," ujarnya.
Menurut Maqdir, KPK menetapkan Sjamsul dan Itjih Nursalim sebagai tersangka karena dinilai telah merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017 yang prosesnya sangat aneh dan tidak memenuhi Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Audit investigasi itu dilakukan atas permintaan KPK, atas dasar data-data yang disodorkan KPK dan tidak ada partisipasi auditee dan tidak ada konfirmasi ataupun klarifikasi kepada pihak-pihak terkait dalam MSAA.
"Penetapan SJN dan IN sebagai tersangka sehubungan dengan penerbitan SKL, sangat tidak bisa diterima. Pemberian SKL oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hanyalah merupakan surat penegasan saja karena obligor telah menandatangani dan melaksanakan isi MSAA serta memperoleh R&D," katanya.
Kerugian keuangan negara, lanjut Maqdir, juga muncul akibat penjualan aset yang dilakukan oleh pemerintah, di mana Sjamsul dan Itjih sama sekali tidak pernah mencampuri dan mengetahuinya.
Dia menambahkan, proses audit BPK 2017 itu sangat tidak lazim dan sama sekali tidak merujuk dan bahkan justru bertentangan dengan 2 hasil audit sebelumnya oleh BPK yang saat ini sedang digugat oleh pihak Sjamsul di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Persidangan perkara ini masih berlangsung.
Jaminan kepastian hukum atas penyelesaian BLBI ini kemudian dipayungi Undang-Undang RI No. 25/2000 (UU Propenas), Tap MPR No. X/2001, Tap MPR No. VI/2002, dan Inpres No. 8/2002.