Jakarta, Gatra.com - Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail, kembali menuding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencederai perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) antara pemerintah dan kliennya pada tahun 1998.
Maqdir menilai bahwa penetapan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Insonesia (BLBI) tersebut bertentangan dengan prinsip hukum. Menurutnya, dengan adanya perjanjian tersebut seharusnya Sjamsul lepas dari segala tuntutan hukum atau segala hak hukum.
"KPK tidak bisa mengabaikan perjanjian yang dibuat Pemerintah, karena institusi tersebut adalah bagian dari Pemerintah," kata Maqdir ke kepada Gatra.com, Selasa malam (11/6).
Sjamsul selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mendapat dana BLBI, telah menandatangani MSAA pada 21 September 1998 dan kemudian memperoleh surat Release and Discharge (R&D) pada 25 Mei 1999.
Sementara KPK berpendapat bahwa setelah dilakukan Financial Due Diligence (FDD), ditemukan bahwa Sjamsul melakukan misrepresentasi, yakni ketika memasukkan piutang petani tambak Dipasena senilai Rp4,8 triliun sebagai piutang lancar, padahal ini tergolong macet.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pun kemudian menyurati Sjamsul untuk menambah jaminan aset sebesar Rp4,8 triliun. Namun Sjamsul menolak dengan alasan kredit petambak termasuk kredit usaha kecil (KUK).
Soal masalah ini, KPK berpegang pada putusan hakim terhadap Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung yang sudah inkracht. Syafruddin pun sudah dinyatakan bersalah dan menerima hukuman 15 tahun penjara.
KPK mengatakan, hakim menilai penolakan penambahan jaminan aset oleh Sjamsul itu justru bertentangan dengan MSAA. Dalam persidangan, hakim juga menolak pembelaan penasihat hukum terdakwa Syafruddin soal pembebasan dan pelepasan (Release and Discharge) untuk Sjamsul Nursalim.
Kembali ke Maqdir, Ia mempertanyakan penetapan tersangka terhadap kliennya karena dinilai KPK merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Maqdir juga menuding hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017 tidak memenuhi Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
"Proses audit BPK 2017 itu sangat tidak lazim dan sama sekali tidak merujuk dan bahkan justru bertentangan dengan dua hasil audit sebelumnya," ujar Maqdir.
Perlu diketahui, terkait audit ini, pihak Sjamsul Nursalim sudah melayangkan gugatan perdata terhadap BPK teregistrasi dengan nomor 44/Pdt.g/2019/PN Tgr di Pengadilan Negeri Tangerang, pada Selasa (12/2). Rencananya, sidang perdata perkara ini akan digelar hari ini.
Gugatan diajukan terkait audit investigatif BPK mengenai kerugian negara dalam penerbitan SKL BLBI. Nyoman Wara, auditor BPK yang juga merupakan saksi ahli dalam sidang perkara korupsi penerbitan SKL BLBI menjadi tergugat I. Kemudian BPK sendiri sebagai lembaga menjadi tergugat II.
"Kini proses pemeriksaan perkara dan persidangannya masih berlangsung," kata Maqdir.
KPK menyangka Sjamsul dan Itjih melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.