Jakarta, Gatra.com - Revolusi Industri 4.0 menghilangkan sekaligus menciptakan pekerjaan baru. Pemagangan Berkualitas atau Apprenticeships menjadi solusi jangka pendek beradaptasi dengan Industri 4.0.
***
Ibarat odong-odong, pendidikan Indonesia riuh tapi pergerakannya lambat. Hal ini terlihat dari kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau Human Capital Index Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain.
Tahun lalu, Bank Dunia mencatat kualitas SDM Indonesia di peringkat ke-6 ASEAN di bawah Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Pendidikan formal Indonesia juga gagal mencetak lulusan siswa dan mahasiswa yang sesuai dan terkait (link and match) dengan kebutuhan industri.
Fasilitas seperti infrastruktur laboratorium dan praktik di sekolah atau kampus masih jauh tertinggal dan tidak mengikuti standar industri.
“Misalnya alat praktik di politeknik, harusnya alat yang digunakan sesuai standar pabrik. Tapi sekarang alat-alatnya justru ketinggalan dua generasi dari pabrik,” kata Koordinator Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI) Kementerian Perindustrian.
Mujiyono khawatir, jika persoalan link and match tidak diatasi, maka Indonesia hanya akan menjadi penonton di era revolusi industri 4.0. “Pendidikan formal kita masih bersifat konvensional,” katanya kepada GATRA.
Industri 4.0 berbasis pada internet dan digital dengan terapan Internet of Things (IoT), Artificial intelligence (AI), Robotic dan Big Data. Dibandingkan revolusi industri 3.0, revolusi industri 4.0 dapat menciptakan efisiensi produksi dan rantai pasok (supply chain) yang ringkas sehingga harga dan kualitas produk lebih kompetitif.
Mujiyono menjelaskan, industri 4.0 bukan ancaman bagi para pekerja saat ini dan tidak akan menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Kalaupun ada profesi yang hilang di industri 4.0, tetapi ada juga profesi baru yang muncul. “Kita enggak bisa menghindar,” ujarnya.
Kemenperin memprediksi, pada era industri 4.0 akan ada 75 juta profesi atau jabatan yang hilang. Namun demikian, ada pula 133 juta pekerjaan baru yang tercipta.
Beberapa pekerjaan yang hilang, meliputi: akuntan, auditor, tukang pos, pekerja perakitan pabrik, ahli las, teller bank, travel agen, juru masak dan banyak lainnya.
Sedangkan pekerjaan-pekerjaan baru yang muncul seperti: analis data, data scientist, pengembang piranti lunak, dan sebagainya.“Jadi (revolusi industri 4.0) akan menyerap tenaga kerja. Hanya saja, profesinya yang bergeser,” kata dia.
Kemenperin dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sedang menggagas peningkatan kualitas SDM yang sesuai dengan kebutuhan revolusi industri 4.0 dengan membangun 500 politeknik baru.
Rencananya, pembangunan politeknik akan melibatkan beberapa kementerian dan perusahaan besar dengan rincian: Kemenperin membangun 100 politeknik, Kemenristekdikti membangun 265 politeknik, beberapa Kementerian lain membangun 60 politeknik, dan swasta membangun 75 politeknik.
Khusus untuk 100 politeknik baru yang akan dibangun Kemenperin, akan ditempatkan di 100 kawasan industri.
Berikutnya, strategi kedua adalah merevitalisasi 5.000 Sekolah Menengah Kejuruan hingga tahun 2024 mendatang. Hingga saat ini sudah ada 2.612 SMK yang disesuaikan dengan kebutuhan industri dan sisanya masih akan terus direvitalisasi.
Hanya saja, penerapan dua strategi tersebut membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Untuk membangun satu Politeknik saja dibutuhkan Rp206 miliar di luar pengadaan lahan.
Dengan demikian, untuk membangun 100 Politeknik dibutuhkan setidaknya Rp20,6 triliun atau sekitar Rp103 triliun untuk 500 Politeknik. “Anggaran sebesar itu untuk penyediaan gedung, pelatihan dan alat-alat di dalamnya,” ujar Mujiyono.
Belum lagi “membujuk” perusahaan untuk membangun Politeknik tidaklah gampang. Untuk menarik pihak swasta membangun politeknik, pemerintah menawarkan insentif tax super deduction (keringanan pajak).
Hanya saja, pemberlakuan paket insentif ini belum jelas kepastiannya karena Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)nya masih menunggu tanda tangan presiden.
Memang, dibutuhkan waktu lama untuk mewujudkan dua strategi di atas. Membangun Politeknik saja menghabiskan waktu satu hingga dua tahun. Setelah itu, begitu politeknik beroperasi, masih dibutuhkan waktu tiga tahun lagi untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan industri 4.0.
Dengan berpijak pada perencanaan di atas, maka Indonesia baru bisa mendapatkan SDM yang sesuai dengan kebutuhan industri 4.0 pada 2024 atau 2025 mendatang. Dengan catatan, pelaksanaan dua langkah di atas sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Di luar dua strategi tadi, ada strategi lain yang lebih efisien untuk mencetak SDM di era industri 4.0, yaitu melalui program pemagangan berkualitas (Apprenticeships). Tahun 2020 pemerintah mentargetkan peserta magang sebanyak 2 juta orang.
Fokus Kemenperin meningkatkan kualitas SDM menghadapi industri 4.0, meliputi beberapa sektor, yaitu makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, serta elektronik.
Lima sektor ini menyumbang sekitar 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, menyerap 60 persen tenaga kerja nasional dan menyumbang 65 persen produk ekspor.
Ditargetkan, tahun 2030 mendatang sekitar 50 persen industri dari lima sektor itu sudah menerapkan industri 4.0. Apabila kelimanya tumbuh dengan baik, maka ekonomi nasional bisa berjalan lebih kencang.
***
Salah satu perusahaan otomotif yang mulai mengaplikasikan industri 4.0 adalah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Untuk mendukung pelaksanaan, TMMIN mencetak SDM yang berkompeten dengan cara membuka pemagangan Apprenticeships.
General Manager PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Subchan Gatot mengatakan, TMMIN telah membuka pemagangan sejak dua tahun terakhir. Satu kali proses pemagangan berlangsung selama setengah tahun.
Jumlah peserta magang yang bisa diterima TMMIN dalam enam bulan sekitar 120 orang, yang terbagi dalam dua batch. Adapun total peserta magang yang lulus pemagangan di TMMIN hingga akhir 2018 mencapai 329 peserta.
Dari jumlah tersebut, 95 persen di antaranya langsung diterima bekerja setelah mendapat sertifikat pemagangan. Mereka diterima bekerja bukan saja di TMMIN, tetapi juga di perusahaan-perusahaan otomotif lain.
Pemagangan di TMMIN bukanlah praktik kerja untuk siswa maupun mahasiswa yang sedang studi, melainkan pemagangan untuk pencari kerja, baik dari lulusan SMK maupun Politeknik. Sistem magang TMMIN mengadopsi pemagangan di Jerman, yaitu 70 persen praktik dan 30 persen teori.
Dalam seminggu, peserta mengikuti kelas pemagangan selama lima hari, yaitu empat hari di pabrik dan satu hari di kelas. Mereka didampingi mentor dan instruktur saat teori dan praktik. “Mereka mengajari dan mengawasi selama proses magang,” katanya kepada GATRA.
Di akhir proses magang, peserta akan dievaluasi dan diuji berdasarkan standar Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Jika lulus, peserta akan mendapatkan sertifikat BNSP. “Jadi, begitu lulus dari Toyota mereka mendapatkan dua sertifikasi, pertama sertifikat lulusan internal, lalu kedua sertifikat dari BNSP,” ujarnya.
Saat ini TMMIN memasukkan beberapa materi industri 4.0 dalam proses pemagangan untuk meningkatkan kualitas SDM. Dalam waktu dekat, TMMIN bahkan sudah mempersiapkan modul untuk pemagangan sistem smart manufacturing.
Smart manufacturing merupakan sistem kerja berbasis industri 4.0. Subchan mencontohkan, dalam smart manufacturing, orang bagian maintenance bukan lagi menunggu mesin rusak, kemudian memperbaikinya. Melainkan sudah bisa memprediksi kapan mesin akan rusak, lalu mencegahnya sebelum rusak.
Bidang lain di sektor otomotif yang akan bergeser adalah bagian las. Nantinya pekerjaan las akan dilakukan robot. “Tapi walaupun dia (manusia) bukan yang mengelas, namun dia yang akan mengendalikan robotnya. Robot kan dikendalikan juga sama manusia,” tambah Subchan.
Selain menciptakan peserta magang berbasis industri 4.0, TMMIN juga meningkatkan kualitas instruktur magang berbasis industri 4.0. Salah satu instruktur pemagangan TMMIN bahkan diikutkan dalam Pelatihan Master Trainer.
Output kegiatan yang pertama kali dilakukan di Indonesia ini adalah mencetak para peserta master trainer yang sesuai dengan perkembangan industri 4.0. Para peserta master trainer yang lulus, akan melatih instruktur magang di masing-masing perusahaan.
Selain TMMIN, perusahaan lain di sektor kimia, yaitu PT Pupuk kujang juga aktif melakukan pemagangan sejak 1987. Durasi pemagangan sekitar satu tahun dengan jumlah peserta 30-40 orang per tahun.
Ketua Badan Pembina Manajemen Mutu Terpadu PT Pupuk Kujang Dodi Pramadi mengatakan, para peserta magang di PT Pupuk Kujang adalah para pencari kerja lulusan SMK, politeknik ataupun universitas.
Sejak 2017, proses pemagangan di perusahaan ini dijalankan berdasarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sehingga seluruh peserta mendapatkan sertifikasi dari BNSP.
Menurut Dodi, saat ini PT Pupuk Kujang juga sedang menyusun kurikulum berbasis industri 4.0 untuk pemagangan karena banyak pergeseran jabatan dan pekerjaan. Dodi mengakui, di era industri 4.0, perusahaan pupuk akan melakukan efisiensi karyawan.
Sekitar tahun 70an, kata Dodi, industri pupuk merupakan salah satu industri padat karya. Begitu tahun 2000an, pabrik menggunakan teknologi baru. Akibatnya terjadi pemangkasan jumlah karyawan hingga setengahnya.
“Sekarang kita mau membangun pabrik lagi di Sulawesi yang lebih besar dari Jawa Barat. Ini karyawannya semakin lebih sedikit,” katanya kepada GATRA.
Bagian-bagian pekerjaan yang hilang di industri pupuk salah satunya bagian pemutar mesin. Dulu, tenaga pemutar menggunakan manusia dan sekarang diganti mesin. Demikian pula, bagian operator mesin juga akan hilang karena digantikan mesin otomatis.
Meski demikian, ada beberapa pekerjaan yang tetap digunakan di industri pupuk era industri 4.0 seperti bagian pemeliharaan, instrumen, tenaga inspeksi, tenaga safety, kemudian keuangan.
Menurut Dodi, magang dapat menyelesaikan permasalahan link and match antara industri dan pendidikan formal. “Harusnya sekolah melihat itu. Misalnya butuh mengelas di dalam air yang jarang disiapkan. Seharusnya sekolah menyiapkan itu,” ucapnya.
Di sisi lain, pemerintah juga harus terlibat aktif menghubungkan pendidikan dengan pemagangan berbasis industri 4.0. “Dikaitkan ke Balai Latihan Kerja (BLK). Setelah itu, akan terhubung ke industri. Ini harus cepat karena Indonesia termasuk ketinggalan,” tambah Dodi.
***
Selain industri manufaktur, industri jasa keuangan juga mengalami terjangan revolusi industri 4.0. Bank Mandiri misalnya yang menyadari arah bisnis jasa keuangan bergeser ke digitalisasi.
Salah satu penyesuaian yang dilakukan adalah mengurangi peserta magang di bagian teller atau customer service representative (CSR) dan call center. Di tahun 2018 peserta magang Bank Mandiri sebesar 3.007 peserta, lebih rendah dibandingkan tahun 2017 sebanyak 3.383 peserta.
Agar mampu menciptakan SDM yang siap bekerja di industri 4.0, Bank Mandiri sedang menyelesaikan kajian untuk menyesuaikan proses bisnis yang ada saat ini agar sejalan dengan perkembangan teknologi.
Senior Vice President Human Capital Services Bank Mandiri, Putu Dewi Prasthiani mengatakan, sebagai pilot project, Bank Mandiri telah membuka magang di bidang IT dan digital banking.
Menurut Putu, Bank Mandiri sedang mengkaji bidang pekerjaan yang akan terdampak industri 4.0. Salah satu bidang pekerjaan yang akan fokus dimagangkan ke depan adalah bagian Teknologi Informasi (TI) dan analisa data.
Untuk mendukung pemagangan berbasisi revolusi industri 4.0, Bank Mandiri juga meningkatkan kualitas instruktur. “Adapun, instruktur atau mentor akan dipilih dari pegawai Bank Mandiri yang memiliki kualitas dan pengalaman dalam bidangnya,” katanya.
Di Bank Mandiri sendiri, setiap peserta magang menjalani proses pemagangan paling lama satu tahun. Mereka ditempatkan magang di unit-unit Bank Mandiri.
Bagi peserta magang yang lulus akan mendapat dua sertifikat, yaitu sertifikat kompetensi magang yang dikeluarkan oleh Bank Mandiri dan sertifikat kompetensi nasional yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP).
“Program magang akan terus dikembangkan untuk dapat menjaring tenaga kerja potensial sesuai kebutuhan perseroan, khususnya menghadapi tantangan bisnis ke depan yang semakin berat di era Revolusi Industri 4.0,” ujar Putu.
***
Lembaga keuangan seperti Bank Mandiri memang harus siap-siap merombak sistem pemagangannya. Pasalnya jabatan yang selama ini dimagangkan, seperti teller atau customer service representative (CSR) maupun call center, menurut Kementerian Tenaga Kerja adalah jabatan yang akan terhempas oleh revolusi industri 4.0. “Sifatnya yang bisa digantikan komputer,” kata Direktur Pemagangan Kemenaker, Darwanto kepada GATRA.
Selain sektor jasa keuangan dan manufaktur, ada tiga sektor lagi yang akan mengalami revolusi industri 4.0 dalam waktu dekat, yaitu ritel, pariwisata dan kelautan/perikanan.
Darwanto mengatakan, agar lulusan pemagangan siap terjun ke industri 4.0, maka sistem pelatihan dan modul perlu disesuaikan dengan kompetensi yang dibutuhkan. Saat ini kurikulum dan silabus magang berbasisi industri 4.0 belum ditetapkan, baik di tataran standar nasional maupun standar khusus.
Kendati demikian, Darwanto menjelaskan perubahan kurikulum pemagangan di perusahaan bisa disesuaikan dengan cepat sesuai kebutuhan industri 4.0.“Begitu industri berubah, kami berubah. Karena kurikulum magang itu mudah menyesuaikan, beda dengan kurikulum pendidikan,” kata dia.
Penyesuaian kurikulum terletak pada unit kompetensi yang dicapai dalam magang. Misalnya magang pekerjaan programmer, unit kompetensinya perlu disusun industri.
Untuk penerapannya, kata Darwanto, dilakukan secara bertahap. “Jadi jangan dibayangkan, sekarang revolusi industri 4.0, semua harus langsung berubah,” ucap Darwanto.
Posisi-posisi pekerjaan yang saat ini berpotensi hilang di industri 4.0 akan disiasati dengan menyisipkan materi-materi kewirausahaan.
Pemagangan di industri garmen misalnya, Kemenaker menyisipkan materi wirausaha agar peserta magang memiliki kompetensi berbisnis. Jadi ke depan posisi itu hilang, maka pekerja bisa langsung beralih ke wirausaha.
Masalah lain, belum semua industri siap melakukan pemagangan berkualitas untuk mencetak SDM industri 4.0. Sebab membutuhkan investasi besar. Perusahaan harus menyiapkan beberapa instrumen pemagangan berkualitas seperti, infrastruktur, modul pemagangan dan instruktur atau mentor.
Berdasarkan data Kemenaker, sepanjang 2018 hanya ada 1.110 perusahaan yang melakukan pemagangan berkualitas di Indonesia. Padahal di wilayah Jabodetabek saja, ada sekitar 500.000 perusahaan.
Jika setengah dari 500.000 perusahaan saja melakukan pemagangan, kata Darwanto, maka setiap tahun ada 5 juta SDM pencari kerja yang ditingkatkan kualitasnya. Dengan asumsi, setiap tahun perusahaan menerima 20 peserta magang. “Coba kalau di pendidikan formal, itu sudah berapa sekolah. Itu juga butuh 3 tahun,” katanya.
Koordinator Nasional untuk Proyek Pemagangan ILO, Dede Sudono mengatakan, dalam industri 4.0 akan terjadi banyak pergeseran pekerjaan. Data International Labour Organization (ILO) menyebutkan sekitar 75 -375 juta tenaga kerja global telah beralih profesi.
Menyikapi ini, ILO mendorong asosiasi dan industri menentukan pekerjaan yang akan hilang dan muncul dalam waktu dekat di era industri 4.0. “Kira-kira keterampilan apa yang akan hilang dan keterampilan apa yang akan dibutuhkan,” katanya kepada GATRA.
Dengan begitu, pemagangan dapat dijadikan solusi jangka pendek untuk membenahi kekosongan kompetensi SDM di industri 4.0. Dede menilai, dengan adanya pemetaan yang tepat menghadapi era industri 4.0, pelaksanaan pemagangan bisa tepat sasaran. “Bukan asal- asalan,” katanya.
Jabatan di bidang perhotelan seperti resepsionis misalnya akan berpotensi hilang. Karena pekerjaan tersebut, kata Dede, berpotensi dialihkan ke teknologi aplikasi. “Bisa saja kunci (hotel) sudah bisa dikirim lewat telepon pintar memakai barcode. Hotel enggak perlu lagi resepsionis,” ujarnya.
Di usianya yang sudah 100 tahun, ILO meyakini, perkembangan industri 4.0 akan berlangsung cepat. Saat ini perusahaan-perusahaan global sedang berlomba-lomba menerapkan industri 4.0. Maklum, penerapan industri keempat ini memberikan efisiensi bagi pelaku usaha.
Cuma di Indonesia, tantangan terbesar ialah mencetak SDM yang siap memasuki industri 4.0. Jika industri bertumpu pada pendidikan formal, maka industri nasional mirip seperti odong-odong tadi. Dampaknya, daya saing industri nasional melempem.
Oleh karena itu, sambung Dede, pemagangan berbasis industri 4.0 bisa dilakukan terlebih dulu sembari menunggu kesiapan dunia pendidikan. “Jika hanya mengandalkan sektor pendidikan semata, maka prosesnya akan sangat lama,” katanya.
Hendry Roris Sianturi