Pekanbaru, Gatra.com - Kegagalan sejumlah mantan birokrat merebut kursi legislatif pada Pemilu 2019, menandakan ketokohan mereka kurang diterima masyarakat.
Menurut pengamat politik Universitas Riau, Tito Handoko, persoalan yang mendera mantan birokrat dalam setiap ajang politik adalah keterbatasan pengaruh.
"Bila seorang caleg itu mantan birokrat, sangat mungkin pengaruhnya lebih dominan di jajaran birokrasi, tapi belum tentu optimal di tengah masyarakat. Artinya pengaruh mereka terbatas pada lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) saja, bukan pada publik," katanya kepada Gatra.com, Kamis (6/6).
Pada pemilu serentak 2019 sejumlah mantan birokrat Pemerintah Provinsi Riau nyemplung menjadi Caleg. Tapi sejauh ini nasib baik hanya menghampiri mantan Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau Syamsurizal.
Sedangkan mantan pejabat lain seperti Zaini Ismail (mantan Sekdaprov), Zulher (mantan Kadisbun) hingga Emrizal Pakis (mantan Asisten Sekdaprov) berpeluang gagal menjadi anggota dewan.
Tito menyebut, ada kecenderungan para mantan birokrat dalam kontestasi pemilu enggan turun menemui masyarakat secara langsung.
Alasanya mantan birokrat ini merasa yakin dengan ketokohanya di tengah masyarakat, sehingga upaya sosialisasi menjadi minim.
"Padahal kalau mereka memutuskan ikut kontestasi, sejak saat itu mereka harus mempersiapkan diri untuk melakukan sosialisaisi seperti Caleg lainya. Bagaimana pun publik mungkin cuma tahu dia mantan pejabat, bukan seorang caleg," katanya.
Sementara itu Ketua DPD Partai Demokrat Riau, Asri Auzar, mengatakan pihaknya memang memberi ruang untuk Caleg dengan latar belakang birokrat. Mantan birokrat dinilai sudah memiliki pemahaman seputar kerja di lingkungan eksekutif.
"Sehingga jika nanti dia duduk di kursi legislatif, orang semacam ini akan lebih piawai melakukan pengawasan terhadap eksekutif," katanya.